Kontras Pertanyakan Kelanjutan Penyelidikan Pelanggaran HAM di Aceh

VIVA – Komnas HAM menyelidiki lima kasus pelanggaran HAM di Aceh dan tiga di antaranya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk diselidiki.

Lima kasus itu, antara lain Jambo Keupok di Aceh Selatan, tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh Utara, Rumoh Geudong di Pidie, tragedi Titue Arakundo di Aceh Timur, dan kasus dugaan penghilangan secara paksa di Kabupaten Bener Meriah.

Tiga di antaranya sudah diajukan ke Kejaksaan, yakni Simpang KKA, Jamboe Keupok, dan Rumoh Geudong. Sisanya menunggu penyelidikan lanjutan dari Komnas HAM.

Menurut Koordinator Kontras Aceh, Hendra Saputra, mekanisme selanjutnya melalui penyelidikan pro justice atau proses penyelidikan secara hukum atas lima kasus pelanggaran HAM di Aceh. Namun hingga kini kejaksaan belum membentuk tim dan sudah sejauh mana kasus itu diselidiki.

“Tapi kita sama-sama tahu Kejaksaan Agung sampai hari ini belum membentuk tim, sehingga kita tidak mengetahui bagaimana proses perkembangan terkait tiga kasus yang sudah diberikan ke Kejaksaan Agung,” kata Hendra saat ditemui wartawan di kantor Kontras Aceh di Banda Aceh, Senin, 10 Desember 2018.

Seharusnya, kata Hendra, pada peringatan hari HAM sedunia hari ini, Komnas HAM memberikan pernyataan kepada publik agar diketahui sejauh mana kasus ini sudah diselidiki. “Ini penting agar tidak bertanya-tanya, karena ini menjadi informasi penting untuk diketahui oleh keluarga korban,” ujarnya.

Di Aceh, penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu juga sudah masuk ke fase meminta keterangan dari para korban dan saksi melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang sudah memiliki payung hukum dan komisioner.
Hidupnya kembali lembaga KKR ini diyakini menjadi titik terang pengungkapan kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Aceh sejak 1976-2005.

Ketua Komisioner KKR Aceh, Afridal Darmi, mengaku masih bekerja mengungkap kebenaran atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM di Aceh, sebagaimana tugas dan wewenangnya yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2013.

KKR Aceh, kata Afridal, berkepentingan untuk mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa KKR Aceh sebagai jalan penegakan HAM dalam perdamaian adalah kewajiban kedua pihak dalam perundingan sebagaimana MoU Helsinki.

“Pengungkapan kebenaran yang dilakukan KKR Aceh berorientasikan pada penguatan perdamaian, pemenuhan keadilan pemulihan hak korban, ini yang sedang kita kerjakan,” ujarnya.

Berdasarkan data dari KKR Aceh, ada 600 korban konflik yang telah didata dan siap untuk diambil kesaksian. Namun untuk tahap pertama KKR Aceh hanya mendatangkan 14 orang: 12 laki-laki dan 2 perempuan.

 

Viva.co.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID
Scroll to Top