Mengenang Tragedi Krueng Suri di Aceh Jaya

Rintik hujan menyudahi terik selama tiga hari berturut-turut di kawasan ini. Kendati, sejuknya menambah gamang saat mobil yang kami tumpangi menanjak ke jembatan gantung menuju Gampong Sarah Raya, di Kecamatan Pasie Raya, Aceh Jaya.

Gemeretak papan yang dilindas mobil bikin kuping ngilu. Rasa-rasanya jembatan sepanjang 200 meter ini rapuh bukan main, hingga kapan saja bisa memerosok pelintas yang lalu lalang di atasnya. Dengan was-was kami menyusurinya.

Tiba di ujung titian, suasana kembali cair ketika seisi mobil saling mentertawai satu sama lain. Betapa kecutnya kami tadi. 

Hingga melewati deretan pemukiman warga, pandangan akhirnya tertuju pada sebuah rumah di sebelah meunasah.

Tuan rumah, Ansari tiba belakangan, menjamu. Lelaki yang kini menjabat geuchik di Gampong Sarah Raya ini termasuk satu di antara nyaris seluruh warga terdampak konflik sejak tahun 2000-an. Kawasan Pasie Raya, sahut sebagian orang yang kami temui, adalah bekas kawasan ‘merah’.

Untuk itu pula tim riset dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh sengaja menyambangi Ansari, Rabu sore (15/1/2020). Selain melakukan penelitian, darinya juga tebersit cerita. Sebuah petaka yang dinamai penduduk setempat sebagai ‘Tragedi Krueng Suri’.

Semula, riwayat berdarah itu telah ditoreh dalam memorabilia. Bersama KontraS, warga Gampong Ceuraceu mendirikan Tugu Krueng Suri di pekarangan kantor desa, akhir Agustus 2017 lalu. Lokasinya kurang lebih  satu kilometer sebelum tiba di jembatan gantung Sarah Raya.

Hari Naas

Ingatan Ansari sesaat mundur ke belasan tahun silam. Atas kuasa tuhan melalui peruntungan di masa mencekam, ia berkali-kali terhindar dari maut.

Namun tidak untuk sebagian lain.

Selasa petang di bulan Agustus 2004, sejumlah warga yang mengungsi ke kawasan hutan memilih turun mencari makanan. Beberapa diantaranya kembali usai dijemput anggota keluarga dari sana. Saat itu, pulang ke rumah sendiri bukanlah perkara mudah. Ada ancaman yang menghantui warga setiap waktu.

Ansari bercerita panjang, kekerasan yang kerap dilakukan pasukan militer dalam operasinya memaksa warga mengungsi dari gampong. Mereka tinggal di hutan dengan bekal seadanya. Namun sesekali warga terpaksa kembali walau sekadar mengambil bahan makanan. Mereka terjepit dalam situasi serba salah.

“Kalau tetap tinggal di gampong, kita jadi pelampiasan, diinterogasi, dipukuli, tapi kalau naik ke gunung, warga akan dianggap bagian dari GAM,” ujar Ansari. Belakangan, opsi yang terakhir dirasa paling memungkinkan. Warga memilih untuk mengungsi, membawa serta keluarga dan materi yang dapat membantu penghidupan mereka di belantara hutan.

“Waktu itu pasukan militer berbondong-bondong masuk gampong, mereka menyisir tiap rumah untuk mencari GAM,” kata Ansari.

Demi menjaga satu sama lain, mereka turun secara berkelompok. Ketika Ansari menghilir bersama rombongannya, satu kelompok memilih jalur lain, hingga mereka terpisah.

“Kami saling berdebat, jalur mana yang aman, tapi mereka pilih lewat sana,” ujar Ansari sambil mengarahkan telunjuk kanannya ke belakang, tepatnya menjurus ke pelosok timur laut gampong Ceuraceu.

Di sisi lain, suasana di desa sudah hening sejak ditinggal penduduknya. Tak banyak yang lihai, atau lebih tepatnya beruntung bisa pulang diam-diam, tanpa diketahui aparat.

“Kalau sampai kedapatan, langsung jadi sasaran pukul, paling parah, ya mati ditembak, semua orang mereka curigai GAM,” kenang salah seorang tetua gampong, Budiman, yang kami temui terpisah.

Perihal tempat kejadian, sambung bekas geuchik itu, letak sebenarnya lebih jauh ke arah utara Ceuraceu. Budiman menggambarkan, balai yang disinggahi rombongan setelah melewati Krueng Suri sama sekali lengang. Tak ada pemukiman disana.

Suasana itu disangka aman untuk beristirahat. Kelompok itu seluruhnya 9 orang, terdiri dari 7 laki-laki dan 2 perempuan. Menurut cerita, tak jauh dari balai, pasukan militer sedang melancarkan operasi. Sementara rombongan masih beristirahat, sebagiannya bahkan hendak menunaikan Shalat Ashar.

Tiba-tiba, suara bedil menyalak dari kejauhan. Letupan itu berasal dari senjata milik tentara.

Tanpa secuil peringatan pun, penghuni balai ditembaki dengan membabi buta. Suasana sontak berubah ketika mair hinggap bersama rentetan tembakan yang memecah sunyi. Tak ada seorangpun yang sempat menyelamatkan diri.

Di tempat itu juga, singkat Ansari, semua anggota rombongan mati dibunuh. Bau anyir darah menyeruak. Ansari mengingat, “bahkan ada satu jenazah (saat ditemukan) tergeletak di tanah, di mulutnya masih ada gumpalan nasi, mereka sedang istirahat makan ketika ditembaki aparat.”

Tak ada yang melihat tragedi itu dari jarak dekat. Di hutan, warga hanya berselindung sambil memanjatkan doa tiap kali deru tembakan membubung ke udara.

Sementara itu, jasad-jasad korban penembakan dibiarkan tergeletak begitu saja, hingga berhari-hari. Tak ada yang berani mengambilnya, apalagi saat pasukan tentara masih lalu lalang di sekitar lokasi.

Sampai di satu pagi, keadaan agak mereda, warga yang berangsur turun dari hutan akhirnya mengangkut tubuh-tubuh kaku itu ke meunasah untuk dikebumikan dengan layak.

Namun di sela cerita, terkuak hal lain. Saat diangkut, dua jasad perempuan ternyata ditemukan terpisah dari rombongan. Lokasinya tak seberapa jauh. Namun kondisinya mengenaskan.

“Kata warga, keduanya diduga disiksa terlebih dulu, diperkosa, lalu dibunuh,” kata Ansari, lirih.

Sang isteri yang ikut menyimak di ruang tamu tak kuasa menahan air mata. Dukanya seakan mengurai segala, entah itu nestapa saat kehilangan sanak dan kerabat, kerugian materi, atau barangkali ada sisi lain dari tragedi yang tertanam dalam ingatan, namun enggan untuk diungkit lagi.

Pelan-pelan Ansari lalu menandaskan, “tak ada yang menginginkan konflik itu terulang lagi, keadaannya sangat menyakitkan untuk kami.”

Tugu Krueng Suri hanya sepenggal ingatan. Deretan tragedi terus menyusul kala itu. Tetua gampong mengingatkan kami, masih banyak kasus penghilangan nyawa saat konflik mendera di Pasie Raya, sementara kisahnya mulai samar di ingatan anak-anak mereka.

“Untuk itulah tugu ini dibuat. Perlu bangun monumen lainnya juga, karena kalau hanya cerita dari mulut ke mulut, lama kelamaan bisa hilang,” pungkasnya menutup cerita.

Dalam perjalanan pulang, kami kembali melewati kantor desa. Tugu Krueng Suri masih tampak kokoh meski kilapnya mulai pudar. Namun ukiran kalimat di monumen itu masih jelas terbaca,

“…Tugu ini didirikan untuk mengingat peristiwa gugurnya sembilan orang warga Ceuraceu, kemukiman Sarah Raya di kawasan Krueng Suri, Kecamatan Pasie Raya, Aceh Jaya, kejadiannya pada hari selasa pukul 17.00 Wib di bulan Agustus 2004.

Setelah terpaksa mengungsi dan tinggal di hutan selama beberapa bulan karena takut dengan dampak konflik, beberapa warga bersedia pulang kembali ke kampung saat dijemput oleh keluarganya. Dalam perjalanan kembali ke kampung mereka hendak beristirahat dan shalat ashar di sebuah pondok. Namun mereka telah syahid sebelum sempat menunaikan shalat ashar akibat ditembak oleh pasukan TNI yang diduga berasal dari kesatuan Raider 100 yang bermarkas di Gampong Alue Jang, Kecamatan Pasie Raya, Aceh Jaya.

Para Syuhada Krueng Suri:

  1. Syamsuddin bin Tgk Saleh
  2. Mawarni binti Tgk. Syamsuddin
  3. Izwar bin Tgk. Syamsuddin
  4. Ismail bin Tgk Baet
  5. Sapuri bin Ismail
  6. Anisah binti Ismail
  7. Jamil bin Musa
  8. Rizal bin Abdullah Asal Pidie
  9. Muliadi bin Abdullah Asal Aceh Utara

Tugu ini di bangun di Gampong Ceuraceu, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya.” []

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID
Scroll to Top