Refleksi 17 Tahun Darurat Militer: Merawat Ingatan Dampak Kekerasan di Aceh

Proses perdamaian Aceh tentu tak bisa berlangsung ideal tanpa adanya kesadaran sejarah di benak setiap masyarakatnya. Semua pihak, baik mereka yang pernah bergelut pada masa lalu maupun generasi saat ini, penting merawat ingatan kolektif mengenai dampak konflik yang pernah menggerus banyak sendi kehidupan di Aceh. Salah satu yang penting dijadikan refleksi yakni rentang masa pemberlakuan Darurat Militer (DM) di Aceh, 2003-2004 silam.

Sejarah DM adalah satu di antara sekian riwayat pendekatan militeristik yang pernah diterapkan di Aceh. Sebagaimana diketahui, DM Aceh ditetapkan melalui keputusan resmi Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 2003 (diberlakukan pada 19 Mei 2003). Izin operasi penumpasan GAM saat itu dimanfaatkan TNI dengan menyiapkan 50.000 sampai 60.000 pasukan yang terdiri atas Angkatan Darat, Brimob, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Selama penerapan DM, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh telah mencatat sejumlah peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM dalam angka statistik yang memprihatinkan. Pelanggaran itu terjadi melalui: 1) pelanggaran hak-hak dan kebebasan dasar warga sipil, 2) lahirnya sistem politik pecah belah antar kelompok sosial di Aceh dan sistem yang diskriminatif –gejalanya tampak pada adanya KTP Merah Putih, 3) pemiskinan masyarakat akibat rusaknya sarana publik, ekonomi, dan pengungsian tanpa penanggulangan yang layak, 4) peralihan birokrasi publik yang dijalankan oleh militer. Dokumentasi KontraS, terdapat sedikitnya 1.326 kasus kekerasan meliputi pembunuhan, penyiksaan, pelecehan seksual, penghilangan paksa dsb.

Beberapa sisi terkait situasi DM di Aceh direfleksikan kembali dalam diskusi publik yang berlangsung Selasa (19/5/2020) via online Zoom Meeting yang digelar KontraS Aceh. Pertemuan ini menguak pengalaman dari sudut pandang pembicara, yakni: jurnalis senior Hotli Simanjuntak, Faisal Hadi (Manajer Program KontraS Aceh), Afridal Darmi (Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/KKR Aceh) dan aktivis perempuan Aceh, Raihana Diani.

Banyak hal yang disoroti dari penerapan DM Aceh, antara lain, pengekangan kebebasan sipil. Dalam pemerintahan, otoritas gubernur saat DM berkurang lantaran diambil alih Penguasa Darurat Militer Daerah yang kala itu dijabat Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya. Peralihan ini menuai implikasi besar.

“Seluruh aktifitas dikontrol militer,” imbuh Faisal Hadi yang pernah menjadi Ketua Koalisi NGO-HAM Aceh, di masa pemberlakuan DM.

Hal serupa dijelaskan Afridal Darmi. Pada masa DM, ia merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. Saat itu, militer sempat menuduh beberapa lembaga masyarakat sipil di Aceh telah berafiliasi dengan GAM, sehingga membuat khawatir kalangan aktivis dan pekerja HAM. “Kalau sudah dianggap seperti itu, ada potensi kekerasan yang mengancam mereka,” kata dia.

Krisis Informasi

Pengekangan kebebasan sipil juga berkelindan pada krisis informasi. Selain dibungkamnya organisasi masyarakat sipil agar berhenti menginformasikan situasi Aceh ke dunia luar, media massa pun didera keterbatasan dalam memberitakan fakta kepada publik. Jurnalis Hotli Simanjuntak mengingat, militer melakukan intervensi bahkan sampai ke bagian redaksi media. dengan kata lain, terjadi penyensoran.

“Serba salah, kadang wartawan dicurigai berafiliasi dengan GAM, kadang juga di pihak militer. Tergantung narsum dalam berita itu,” ujar dia.

Belakangann, pola pemberitaan media mulai bergeser sejak 2003, dengan diusungnya jurnalisme damai (peace journalism). Media Acehkita yang digawangi jurnalis Dandhy Dwi Laksono dkk, kala itu memilih untuk mengesampingkan sumber-sumber sepihak dari kalangan TNI maupun GAM, lalu beralih dengan menyoroti dampak konflik terhadap masyarakat sipil.

“Publik harus tahu betapa parahnya dampak yang dialami masyarakat akibat pemberlakuan darurat militer, dan Acehkita merupakan embrio dari situasi tersebut, ia berperan penting di masanya dalam menyajikan informasi pembanding,” ujar Hotli.

Rasa saling curiga kerap muncul lantaran minimnya pengetahuan dan cara pandang terhadap konflik itu sendiri. Hotli menyebut perspektif kemanusiaan sangat penting untuk menunjang independensi jurnalis. Menurutnya, banyak wartawan yang meliput DM di Aceh dengan pandangan hitam-putih.

“Banyak dari wartawan, seperti dari media luar, yang melihat konflik di Aceh semata soal separatisme yang harus ditumpas, ini berpengaruh pada pemberitaan yang melulu mengutip sumber dari militer, diistilahkan dengan embedded journalism,” paparnya.

Dampak terhadap Perempuan

Sementara itu, aktivis Raihana Diani menyoroti dampak pemberlakuan operasi militer terhadap kaum perempuan di Aceh. Perempuan di kampung-kampung kerap manjadi tameng bagi rumah tangga ketika kaum laki-laki terpaksa keluar mengamankan diri. Dalam banyak literatur konflik, perempuan sering dijadikan pelampiasan kekerasan oleh pihak-pihak yang bertikai.

“Ada beban ganda yang dijalani perempuan,” ungkap Raihan.

Seiring masa, diskriminasi terhadap perempuan di Aceh beralih dari satu bentuk kekerasan ke kekerasan lainnya. Menurut Raihan, persoalan terletak pada cara berpikir masyarakat yang terbiasa melihat perempuan sebagai kaum yang lemah. Pandangan demikian pula yang secara otomatis meminggirkan mereka dari akses dan partisipasi terhadap kebijakan di tengah masyarakat. Budaya semacam itu terus dilanggengkan.

“Jadi sebenarnya militerisme itu masih ada, kita tidak sepenuhnya keluar dari budaya kekerasan yang berakar pada timpangnya relasi kuasa. Ini hanya berganti, dari darurat militer ke darurat kekerasan seksual, darurat kekerasan anak dan sebagainya,” ujarnya.

Memorialisasi, Ikhtiar Memutus Mata Rantai Kekerasan

Berkaca pada sejarah pemberlakukan DM di Aceh 17 tahun lalu, dapat dipahami bahwa pendekatan militeristik tampak simplifikasi atas persoalan yang sebenarnya sangat kompleks dan membutuhkan dialog. DM sama sekali tidak memulihkan keadaan, melainkan makin memperparahnya.

Jika masyarakat tak belajar dari sejarah tersebut, seperti yang disampaikan Afridal Darmi, hal yang sama akan terulang di tempat lain. Budaya kekerasan masa konflik akan berkelindan pada kerusakan jangka panjang (irreversible damage) pada aspek lainnya dan merusak tatanan masyarakat secara keseluruhan.

“Sejarah DM Aceh adalah cerminan dari apa yang terjadi pada negara ini, apa ongkos yang harus dibayar dengan keputusan politik semacam itu. Jadi bicara DM, kita sebenarnya tidak hanya bicara Aceh, tapi Indonesia secara keseluruhan,” pungkas Afridal.

Penyadaran sejarah bisa dilakukan dengan banyak hal. Selain memorialisasi, penting untuk mendokumentasikan konflik Aceh ke dalam kurikulum sekolah-sekolah. “Catatan itu bukan untuk membangkitkan luka, tapi jadi sejarah yang harus dibaca generasi ke depan, agar tak jatuh ke lubang yang sama nantinya,” tutup Hotli. []

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID