Hentikan Proyek Living Park di Atas Reruntuhan Rumoh Geudong: Temuan Tulang Belulang Manusia Mencerminkan Minimnya Penanganan Sensitif dan Bermartabat Bagi Korban Pelanggaran HAM di Aceh

25 Maret 2024 – Kami, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam pernyataan ini menyesalkan adanya upaya pengabaian penemuan tulang belulang manusia dalam pembangunan living park di atas reruntuhan Rumoh Geudong, salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie, Aceh. Kami mendesak Pemerintah Indonesia mengambil langkah konkret menjamin martabat korban dan keluarga korban di Aceh. Pembangunan living park harus dimulai dengan pengungkapan kebenaran, pelaksanaan Pengadilan HAM, serta penggalian dan identifikasi tulang belulang dengan cara yang sensitif dan bermartabat. Dalam proses ini, keluarga korban harus secara aktif terlibat dan diberikan informasi yang transparan mengenai perkembangannya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diharapkan segera turun tangan menindaklanjuti dugaan tersebut. Perlu diingat, Komnas HAM telah menyelesaikan Penyelidikan Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya pada 28 Agustus 2018. Tim Ad Hoc Komnas HAM juga telah mengirimkan laporan penyelidikan ini kepada Jaksa Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.[1]

Penemuan ini senada dengan isi di dalam laporan temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh), berjudul Peulara Damee[2] “ … setelah dunia internasional mulai memberikan perhatian, kebanyakan para korban dikubur dalam kuburan-kuburan massal di sekitar Rumoh Geudong.”[3] Temuan ini juga berdasarkan 4.765 pernyataan yang dikumpulkan KKR Aceh, terdapat 1.135 tindakan pembunuhan yang tidak sah serta bertentangan dengan hukum dan 371 tindakan penghilangan paksa. 

Pasal 1 ayat 25 Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh juga menyebutkan bahwa “Hak  atas  kepuasan  adalah  untuk  memuaskan  korban  yang termasuk di dalamnya dihentikannya pelanggaran, pengakuan   kebenaran,   pencarian orang hilang termasuk penggalian kuburan massal, deklarasi resmi atau putusan yudisial yang memulihkan martabat korban, permintaan maaf resmi, sanksi  terhadap  pelaku, penghargaan  korban melalui peringatan dan monumen.”

Menimbang berbagai hal di atas, kami mendesak:

  1. Pemerintah untuk melakukan penghentian sementara pembangunan living park oleh pemerintah secara terburu-buru karena berpotensi merusak barang bukti, atau obstruction of justice;
  2. Komnas HAM untuk melakukan tindakan aktif dengan cara turun melakukan pemantauan serta tindak lanjut yang diperlukan dalam investigasi kasus Rumoh Geudong;
  3. Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil pro justitia Laporan Penyelidikan Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya, dengan menekankan bahwa temuan ini mampu menjadi dasar penguat kasus Rumoh Geudong dibawa ke Pengadilan HAM;
  4. Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk pembatasan informasi akan proses pembangunan living park ke masyarakat sekitar dan korban kekerasan Rumoh Geudong;
  5. Pemerintah untuk memastikan segala proses pembangunan berprinsip pada pelibatan bermakna dari korban dan kelompok masyarakat sipil.

Kelompok Masyarakat Sipil:

  1. KontraS Aceh
  2. Yayasan PASKA Aceh
  3. Asia Justice and Rights (AJAR)
  4. Lembaga Studi Demokrasi dan Perdamaian
  5. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  6. Amnesty International Indonesia
  7. Tim Klarifikasi Sejarah Independen

[1] Lihat siaran pers Komnas HAM, 2018 https://www.komnasham.go.id/files/20180906-siaran-pers-laporan-penyelidikan-$P4.pdf
[2] Lihat laporan temuan KKR Aceh, “Peulara Damee”, 2023: https://kkr.acehprov.go.id/media/2023.12/buku_laporan_peulara_damee1.pdf
[3] Paragraf 245 Laporan temuan KKR Aceh Peulara Damee

id_IDID