KontraS Aceh Desak Plt Gubernur Fasilitasi Penanganan Ratusan Pengungsi Rohingya

Setelah 99 imigran etnis Rohingnya tiba di Aceh Utara pada Juni lalu, kini masyarakat Lhokseumawe kembali menerima sedikitnya 297 pengungsi. Mereka mendarat di Pantai Gampong Ujong Blang, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Senin dinihari (7/9).
Berdasarkan sumber KontraS Aceh di lapangan, terungkap rincian jumlah pengungsi tersebut: laki-laki dewasa 102 orang, anak-anak 14 orang, serta perempuan 181 orang. Mereka mengaku sudah terkatung-katung di lautan selama tujuh bulan. Kini, para imigran Rohingya tersebut telah dibawa ke BLK Lhokseumawe yang terletak di Meunasah Mee, Kecamatan Muara Dua, tempat penampungan puluhan pengungsi sebelumnya.

Mengingat angka pengungsi Rohingya yang kian membludak saat ini, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mendesak Plt Gubernur segera mengoordinasikan penanganan pengungsi tersebut bersama pemerintah di tiga daerah, yakni Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara dan Kota Langsa. Hal ini mengingat wilayah tersebut sudah memiliki pengalaman dalam menangani Rohingya. Di sisi lain, daya tampung di BLK Lhokseumawe dinilai tidak memungkinkan untuk pengungsi sebanyak itu. Pemerintah perlu memikirkan opsi untuk merelokasi mereka ke penampungan lainnya.

“Sudah saatnya Pemerintah Provinsi turun tangan langsung, lonjakan jumlah pengungsi saat ini butuh penanganan bersama dan sinergi antar daerah,” kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, Senin, 7 September 2020. Selain kapasitas yang tidak memadai, kondisi keamanan pengungsi juga harus dipertimbangkan. “Beberapa hari lalu, ada pengungsi yang kabur dari kamp. Kondisi keamanan yang rentan saat ini perlu diantisipasi lebih baik lagi, apalagi dengan lonjakan pengungsi saat ini yang mencapai ratusan,” ungkapnya. Menurut Hendra, Plt Gubernur harus peka dengan kondisi tersebut. Membantu pengungsi Rohingya, kata dia, berkaitan dengan moral kemanusiaan. Imigran yang terkatung-katung di lautan saat ini tengah berjuang antara hidup dan mati.

“Para pengungsi terjebak dalam ketidakpastian soal masa depan hidup mereka, sementara hak hidup adalah hak yang paling dasar ketika kita bicara Hak Asasi Manusia,” imbuh Hendra. Terlebih lagi, isu Rohingya yang kian hari menjadi perhatian di dunia internasional. Di saat seperti inilah, kepemimpinannya diperlukan untuk menyinergikan kerja-kerja pemerintah daerah.

KontraS kembali mengingatkan, Pemerintah Aceh perlu mengimplementasikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Aturan tersebut juga merupakan manifestasi dari Pasal 28 G UUD 1945, yang pada poinnya menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman, serta perlindungan dari ancaman ketakutan. Selain itu, Perpres 125/2016 juga wujud mandat dari Pasal 25-27 UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. UU ini sendiri menjelaskan soal pemberian suaka dan masalah pengungsi. “Aturan-aturan tadi menjadi dasar mengapa pemerintah wajib melindungi para pengungsi,” tandasnya. []

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

en_USEN
Scroll to Top