Banda Aceh – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar sidang paripurna untuk meresmikan peluncuran Laporan Temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Selasa (12 Desember 2023) di ruang sidang istimewa DPRA, pukul 17.00 WIB.
Laporan temuan tersebut merupakan bagian dari hasil kerja pengungkapan kebenaran yang telah dilakukan KKR Aceh selama periode 2016-2021 lalu. Laporan tersebut memuat temuan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelanggaran HAM berat, berdasarkan bukti dan fakta yang telah dikumpulkan dalam periode konflik Aceh mulai tahun 1976 (deklarasi Aceh Merdeka) sampai tahun 2005 (nota MoU Helsinki). Termasuk dalam laporan tersebut mengenai analisis faktor penyebab kekerasan, peristiwa
yang melatarbelakangi, motivasi politik dan/atau ekonomi, tindakan dan aktor baik lembaga negara maupun non-negara, serta dampak-dampaknya.
Ini merupakan laporan temuan perdana yang secara resmi diluncurkan, sejak KKR Aceh sebagai komisi kebenaran yang pertama dan satu-satunya di Indonesia saat ini menjalankan mandatnya tepat setelah komisioner periode pertama lembaga tersebut dilantik pada 2016 silam. Sesuai amanat dalam Qanun 17/2013 tentang KKR Aceh, bahwa komisi ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran terhadap pelanggaran HAM masa lalu, membantu tercapainya rekonsiliasi serta merekomendasikan reparasi/pemulihan menyeluruh bagi korban pelanggaran HAM di Aceh.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna menegaskan, bahwa penerbitan laporan temuan tersebut merupakan momen paling krusial dalam proses keadilan transisi di Aceh pascakonflik silam. Untuk pertama kalinya, laporan tentang fakta pelanggaran HAM di Aceh diakui secara resmi oleh pemerintah, dalam hal ini KKR Aceh sebagai bagian dari lembaga pemerintah independen (non-struktural).
Laporan ini, ujarnya, penting untuk dipublikasikan seluas-luasnya kepada masyarakat, sebagai bentuk akuntabilitas dan penghormatan kepada korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, yang hingga kini masih belum sepenuhnya mendapatkan hak atas kebenaran dan pemulihan dari negara.
“Kita menolak lupa pada kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi di Aceh. Semasa konflik, berbagai bentuk pelanggaran HAM berat: pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, kekerasan seksual, pengusiran dan perampasan harta benda, semuanya terjadi secara sistematis dan meluas lewat berbagai operasi militer di Aceh,” kata Husna.
Ia juga menambahkan, dengan diparipurnakannya laporan temuan KKR Aceh, ini menjadi milestone (tonggak capaian) dalam perjalanan Aceh sebagai sebuah bangsa. “Ini merupakan sumbangsih besar dalam proses pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh, ini perlu menjadi sejarah resmi bagi Aceh dan Indonesia, di mana konflik dan pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di masa silam sebagai pembelajaran akan pentingnya pemenuhan hak-hak korban dan jangan sampai terulang lagi,” ungkapnya lagi.
Usai peluncuran laporan tersebut, KontraS Aceh mendesak Pemerintah Aceh menjadikan data dan fakta yang termuat dalam laporan tersebut sebagai baseline dalam pembangunan Aceh ke depan. Husna menegaskan, proses keadilan transisi pascadamai sama sekali belum usai.
“Puluhan ribu korban pelanggaran HAM berat di Aceh masih menanti janji dari negara untuk memulihkan kembali hak-hak mereka yang telah dirampas, pembangunan di Aceh di masa depan harus dimulai dari situ, agar perdamaian bisa memberi dampak kepada semua pihak, terutama komunitas korban di akar rumput,” kata Husna.
Karena itu, ia juga menekankan data-data korban pelanggaran HAM yang telah diambil oleh KKR Aceh dalam proses pengambilan pernyataan selama ini juga harus digunakan sebagai data yang terintegrasi dalam kebijakan negara.
“Pemerintah jangan pernah abai pada upaya pemenuhan hak korban khususnya terkait pemulihan. Aceh sebagai wilayah terdampak konflik perlu memfokuskan pemulihan tersebut kepada korban yang selama ini terpinggirkan dalam masa-masa damai sejak 2005 silam,” kata dia.[]