Oleh: Azharul Husna
Merujuk catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh mendapat ranking pertama provinsi termiskin se-Sumatera dan keenam seluruh Indonesia. Urutan pertama ditempati oleh Papua diikuti Papua Barat lalu berturut-turut Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Gorontalo dan Aceh. Meskipun demikian, secara nasional kita masuk dalam tujuh provinsi dengan penurunan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia. Dalam duka sebab mendapat juara, masih ada angin segar rupanya. Tentu saja sebagai masyarakat Aceh, kami mengapresiasi kerja keras Pemerintah dalam hal pengentasan kemiskinan ini.
Dalam berita resmi statistik mengenai profil kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk Aceh periode September 2019 yang dikeluarkan oleh BPS Provinsi Aceh dituliskan persentase penduduk miskin Aceh adalah 15,01 %. Angka sakral 15 koma sekian sudah bertengger sejak bertahun-tahun lalu. Perdebatan panas di Facebook dan status-status media sosial hingga spanduk di jalan (beberapa sudah dicopot). Lalu ada pledoi dari pemerintah di media. Pada kenyataan ini, kenapa kita baru terkejut?
Setelah sekian lama kita mengelola Dana Otonomi Khusus yang terbilang besar ditambah Dana Desa yang tidak sedikit demi gampong yang mandiri dan berdaya. Pertanyaannya, mengapa bisa Aceh tetap miskin? Mengenai masalah ini, saya kutip jawaban dari Bapak Wahyuddin, Ketua BPS Aceh.
“Kita hanya ingin bagaimana Aceh keluar dari angka kemiskinan tertinggi di Sumatera. Salah satu solusinya dengan program lebih efektif. Sebenarnya sudah banyak program yang dilaksanakan pemerintah, termasuk program perlindungan sosial. Tapi memang keterjangkauannya belum merata dan sasarannya mungkin belum tepat.â€
Jawaban lainnya diberikan oleh juru bicara Pemerintah Provinsi Aceh yang mengatakan bahwa kemiskinan juga disebabkan pekerja-pekerja yang dipasok dari luar Aceh serta masyarakat Aceh yang tidak melibatkan diri dalam proyek-proyek kerja baik yang dijalankan oleh pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat melalui APBN.
Baiklah, mari kita samakan frekwensi. Seumpama kemiskinan adalah sebuah penyakit. Barangkali kita akan bersepakat bahwa perlu dilakukan pemeriksaan dengan baik dan benar agar dapat diberikan penanganan yang tepat. Kesalahan dalam mendiagnosa bisa menyebabkan pemberian resep yang salah. Hal ini dapat memperparah penyakit bahkan berakibat kematian. Kemiskinan pun demikian, perlu ada pembacaan yang baik mengenai akar permasalahan dan penanganan yang bijaksana. Itulah mengapa, jawaban dari dua institusi negara ini layak direspon secara kritis. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi highlight.
Pertama, melihat kemiskinan dan akarnya ada dimana. Program perlindungan sosial sebagaimana yang disampaikan oleh kepala BPS Aceh perlu dilihat sebagai affirmative yang diharapkan dapat menjadi katalisator yang mempercepat kemandirian masyarakat. Kedua, apakah pelibatan masyarakat kedalam proyek-proyek pemerintah dan swasta yang mana didominasi oleh infrastruktur dan berjangka waktu pendek terbukti mampu mengurangi kemiskinan? Kerja-kerja non-skill tertentu seperti yang disampaikan oleh pemerintah merupakan kerja buruh yang tentu saja sangat terbatas periode dengan upah rendah. Hanya fisik semata tanpa ada peningkatan kemampuan tertentu.
Terakhir adalah pola piker. Dalam hal kemiskinan hampir tidak ada perdebatan bahwa yang menjadi korban adalah rakyat kecil. Saat beginipun, kembali rakyat yang disalahkan. Dianggap tidak mau bekerja dan kurang pro aktif melibatkan diri. Inilah dapat disebut blaming the victim dengan kata lain dituduh menjadi sumber dari petaka yang sedang mereka derita. Sebagai pemegang kewajiban, tentu saja ini bukan perspektif yang dari Negara.
Sebagai masyarakat, secara terbuka saya hendak memberi usulan memerangi kemiskinan ini yang setidaknya berangkat dari pernyataan pemerintah diatas. Ada dua prinsip yang hendak disampaikan. Pertama, pilihan sektor jangka panjang. Sebagaimana yang kita lihat, pilihan pemerintah (termasuk gampong) umumnya jatuh pada proyek yang cepat selesai. Ini boleh jadi sebab terbatasnya aparatur dalam menerjemahkan secara konkrit gagasan pemberdayaan ini atau karena hasilnya yang butuh waktu lama dan sulit diukur. Program-program kerja berkarakter pemberdayaan (empowerment) kebanyakan tidak berjalan. Disitulah titiknya, perlu dibuat sistem dengan pengukuran-pengukuran tertentu untuk memastikan ia berlanjut.
Kedua, ia haruslah pada sesuatu yang rakyat Aceh sendiri memiliki keahlian melakukannya. Basisnya mesti ada di rakyat. Misalnya usaha-usaha di komunitas. Ia akan terus bergerak dan bekerja dalam kontrol kelompok masyarakat itu sendiri. Tentu saja dengan pengampuan pemerintah dan tersistem. Seperti adanya jenis pendampingan tertentu dan berkala termasuk evaluasi yang reflektif.
Pada akhirnya, setelah segala upaya dilakukan. Seperti sebuah ungkapan terkenal yang mengatakan biarkan waktu menjadi hakim. Dalam penantian ini kami berdoa, semoga periode kedepan, Aceh dapat melepas gelar termiskin se-sumatera segera. Amin.[]