Pembantaian yang Menyisakan Impunitas

(Mengenang Tragedi Jambo Keupok, 17 Mei 2003)

Penulis: Rizkina Putri*

Tragedi Jambo Keupok merupakan satu peristiwa yang menjadi sejarah pilu bagi Aceh, khususnya masyarakat di Aceh Selatan. Hingga saat ini, warga dan keluarga korban masih merasakan trauma mendalam terhadap peristiwa tersebut, karena mereka menyaksikan langsung bagaimana keluarganya disiksa, dibakar hidup-hidup dan dibunuh. Bahkan hingga saat ini, meski 20 tahun telah berlalu, namun bayang-bayang terhadap pembantaian tersebut masih terlintas seakan kejadian itu baru terjadi kemarin.

Memorialisasi Tragedi Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan – Aceh Selatan

Bertahun-tahun masyarakat Aceh menunggu, menginginkan, bahkan mencari keadilan. Namun, peristiwa tersebut tampaknya telah dilupakan. Pemerintah terkesan tidak lagi menghiraukan. Barangkali, kasus ini dianggap merupakan kejahatan HAM di masa lalu sehingga tidak lagi penting untuk diproses.

Jika dilihat bukan hanya peraturan HAM di Indonesia saja yang dilanggar dalam tragedi tersebut, namun sudah mencakup ke dalam hukum humaniter maupun HAM Internasional. Dalam peraturan perang, diatur bahwa dalam peperangan tidak boleh menyiksa dan membunuh masyarakat sipil, anak-anak, bahkan pekerja medis.

Namun, yang dilakukan oleh aparat militer Indoensia pada saat itu sudah melampaui batas dan sudah mencakup HAM berat. Yang seharusnya dilakukan pemerintah setelah tragedi tersebut adalah mengusut tuntas dan menyeret para pelaku ke pengadilan. Negara juga harus meminta maaf dan bertanggung jawab atas peristiwa ini, sehingga dapat memberikan ketenangan terhadap guncangan jiwa korban pada saat mengingat hal yang tidak pernah dibayangkannya akan terjadi.

Mirisnya, yang dilakukan pemerintah malah sebaliknya membiarkan korban terpuruk dalam duka dan membebaskan pelaku tanpa bersalah. Hal ini yang membuat masyarakat Aceh semakin terpukul dimana tragedi tersebut dilupakan begitu saja tanpa adanya proses penindakan terhadap pelaku.

Mari kembali kita ingat, tanggal 17 Mei 2003 hingga 2023 merupakan waktu yang tidak sebentar. Selama itu pula masyarakat Aceh terus menunggu keajaiban terhadap keadilan, meski keadilan tersebut tak lagi jadi angan-angan yang sulit digapai. Keadilan merupakan sebuah tembok yang paling kuat bagi kebenaran, dan pemilik wewenang dan kekuasaan lah yang bisa menghancurkannya. Sementara yang lemah seperti masyarakat biasa akan semakin tersungkur dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Keadilan memang sangat indah didengar, namun sulit untuk digapai. Jika keadilan sudah tidak ada, lantas untuk apa aturan hukum itu ada? Jika kejahatan terhadap hak asasi manusia yang jelas-jelas ada dan nyata saja tidak bisa diatasi, bagaimana dengan kasus-kasus yang dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi? Bagaimana aturan hukum itu bisa berlaku bagi para pelaku tersebut? Apa peristiwa ini harus berujung pada impunitas (kekebalan terhadap hukum) bagi mereka?

_______

*) Penulis merupakan mahasiswa dari Prodi Hukum Ekonomi Syariah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID
Scroll to Top