KKR Rumuskan Kebijakan Nasional untuk Reparasi Korban

Jakarta-Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bekerja sama dengan Federasi KontraS merumuskan kebijakan untuk keberlangsungan perdamaian Aceh yang telah tersendat selama 13 tahun. Akademisi dari berbagai universitas di Indonesia hadir dalam perumusan yang dilakukan dalam suatu diskusi terfokus di Jakarta pada Jumat 1 Februari 2019.

Dalam keterangannya Ketua KKR Afridal Darmi menyatakan rumusan kebijakan pemerintah pusat itu diarahkan untuk menggerakkan implementasi perdamaian Aceh dan dukungan untuk pengungkapan kebenaran dan melaksanakan rekomendasi KKR Aceh. Rumusan itu kemudian diadvokasi ke pemerintah Indonesia untuk menjadi kebijakan resmi pemerintah.

Dalam kesempatan yang sama Andy Irfan, Sekjend Federasi KontraS menegaskan bahwa dalam MoU itu Pemerintah Indonesia telah setuju untuk membentuk Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM Aceh. Tetapi sejauh ini pemerintah Indonesia belum melaksanakan kewajiban ini sekalipun sudah 13 tahun MoU ditandatangani. Pengadilan HAM belum juga dibentuk, sedangkan KKR Aceh pun dibentuk atas inisiatif pemerintah Aceh sejak dua tahun lalu masih mengalami banyak kendala secara hukum dan kelembagaan dalam menjalankan mandat-mandatnya. Seluruh kendala yang dihadapi  KKR Aceh tersebut hanya dapat diatasi melalui komitmen politik yang kuat dari Jakarta.

“KKR Aceh merupakan harapan terakhir bagi korban pelanggaran HAM di Aceh untuk bisa mengakses pemenuhan keadilan bagi mereka, sehingga menjadi sangat penting adanya keterlibatan para pihak untuk bisa memberikan ruang gerak yang memadai bagi kerja-kerja yang sedang dijalankan oleh KKR Aceh” cetus Hendra Saputra dari KontraS Aceh. Salah satu ruang yang harus diciptakan adalah payung hukum nasional yang mengakomodir kerja KKR pasca proses pengungkapan kebenaran dilakukan.

Kegiatan ini menyertakan mantan juru runding MoU Helsinki dari Gerakan Aceh Merdeka diwakili oleh Munawar Liza Zainal dan mantan juru runding dari Pemerintah Indonesia yang diwakili Marsekal Madya (Purn) Soleman B. Ponto. “Kehadiran kedua mantan juru runding itu untuk memberikan latar sejarah terutama seputar artikel 3 MoU Helsinki tentang hak asasi manusia”, ungkap Afridal Darmi. 

Dalam FGD itu Munawar Liza Zainal menyatakan MoU merupakan punca perdamaian Aceh. “Selain memperhatikan aturan hukum yang ada, kita juga perlu untuk kembali melihat maksud dari kesepakatan yang tertuang di dalam MoU sehingga kita tidak melenceng”

Menurut Munawar Liza KKR dan pengadilan HAM adalah salah satu cara untuk mengembalikan martabat korban konflik di Aceh, sehingga perlu didukung bersama-sama dan dikuatkan kehadirannya sehingga akan menguatkan perdamaian sehingga berkesinambungan.

Akademisi

Sejumlah akademisi hadir dan terlibat dalam penyusunan kebijakan nasional tersebut adalah Dr. Herlambang Perdana Wiratraman, Universitas Airlangga; Dr. Manunggal Wardaya dari Univeritas Soedirman, Prof Faisal A. Rani, Universitas Syiah Kuala Aceh, Dr. Dian Puji Simatupang, Universitas Indonesia dan Dr. Sri Lestari Wahyuningrum, Universitas Indonesia

KKR yang dibentuk sebagai implementasi MoU Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh sepanjang tahun 2017 dan 2018 tengah melakukan pengungkapan kebenaran atas pelbagai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu sejak Konflik Aceh berlangsung (1976-2005). Lembaga ini telah mengumpulkan lebih dari 1.000 pernyataan dari korban pelanggaran HAM. Saat ini KKR Aceh sebagaimana mandatnya dalam Qanun Aceh (Perda) Nomor 17 tahun 2013 pada tahun November2018  telah menyelenggarakan Rapat Dengar Kesaksian (RDK) yg menghadirkan 14 orang perwakilan korban pelanggaran HAM untuk menceritakan secara terbuka kepada public tentang pelanggaran HAM yang terjadi atas diri mereka selama konflik.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID
Scroll to Top