26 Tahun Pasca Pencabutan Status DOM Aceh, Keadilan bagi Korban Masih dalam Angan-angan

Pada 7 Agustus 1998 silam, status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh resmi dicabut. Operasi militer yang telah berlangsung sejak Juli 1989 ini telah menyebabkan terjadinya banyak peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan nama resmi “Operasi Jaring Merah”, operasi militer ini ditujukan sebagai respon terhadap Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Akan tetapi, pada kenyataannya, aparat militer tidak menggunakan kekuatannya secara proporsional sehingga mengakibatkan banyak warga sipil yang menjadi korban. Aparat militer yang seharusnya memberikan keamanan bagi masyarakat telah gagal dan malah secara aktif melakukan serangan kepada warga sipil.

 

Peringatan Tragedi Simpang KKA (Dok. KontraS Aceh)

Tidak hanya itu, pencabutan status DOM di Aceh rupanya tidak menghentikan tindakan represif yang dilakukan oleh aparat militer terhadap warga sipil di Aceh. Selama 1989-2003, Komnas HAM menemukan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang berat, setidaknya, yaitu pembunuhan terhadap 472 orang, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang terhadap 172 orang, penyiksaan terhadap 229 orang, persekusi terhadap 599 orang, perkosaan terhadap 14 orang, dan penghilangan orang secara paksa terhadap 181 orang.

 

Komnas HAM melalui Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Daerah Operasi Militer di Provinsi Aceh pada 2013 telah menetapkan terdapat sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi, yaitu Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Pidie (1989-1998), pembunuhan massal Simpang KKA di Aceh Utara (1999), pembunuhan Bumi Flora di Aceh Timur (2001), penghilangan orang secara paksa di Bener Meriah (2001), dan pembantaian massal di Jambo Keupok (2003). Semua kasus tersebut pun kemudian telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat, kecuali untuk kasus pembunuhan Bumi Flora yang kini tengah dalam tahap penyelidikan Pro justitia.

 

Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang diluncurkan pada Desember 2023 juga melakukan pengungkapan kebenaran di masa DOM, dengan mengidentifikasi 10.652 pelanggaran hak asasi manusia pada rentang 1976-2005. Pelanggaran ini terbagi dalam enam kategori utama: penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan perusakan properti. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa pelanggaran ini dapat masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Komisi menemukan aparat keamanan Indonesia melakukan pelanggaran sistematis terhadap warga sipil dalam skala besar, dan hanya sekitar dua persen yang dilakukan oleh GAM. 

 

Ziarah dan Doa Bersama Rumoh Geudong. (Dok. KontraS Aceh)

 

Komite HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada Mei 2024 dalam rangka tinjauan kedua terhadap implementasi pelaksanaan Kovenan Hak Sipil dan Politik di Indonesia juga menyesalkan lambatnya pengadilan dan reparasi untuk kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh. Mereka turut mendesak pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan rekomendasi laporan temuan KKR Aceh. 

 

Meski demikian, proses hukum untuk peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Aceh tersebut tidak kunjung menemukan titik terang. Hal ini lantaran Kejaksaan Agung terus menolak untuk melanjutkan ke tahap penyidikan dan mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM dengan alasan kurang cukup bukti. Presiden Joko Widodo pun juga tidak pernah menunjukkan upaya seriusnya dalam menuntaskan kasus-kasus ini secara hukum, seperti dengan memerintahkan Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses penyidikan.

 

Presiden Joko Widodo kini malah seakan berupaya untuk melakukan cuci dosa dan pemutihan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh dengan kebijakan penyelesaian secara non-yudisial, terutama melalui pembangunan living park di area Rumoh Geudong dengan dalih sebagai bentuk memorialisasi. Pembangunan ini bermasalah lantaran tidak pernah ada dialog dengan korban mengenai pembangunan tersebut dan berpotensi menghilangkan barang bukti.

 

Padahal, panduan PBB yang diadaptasi oleh Komnas HAM menekankan bahwa proses memorialisasi harus berpusat pada korban dan mengutamakan keadilan, kejujuran, dan penghormatan. Negara harus mengambil langkah-langkah seperti mengumpulkan dan mendokumentasikan kesaksian korban, berkonsultasi dengan mereka, merancang memorial bersama korban, mendidik publik tentang pelanggaran HAM, mengadakan peringatan, menyediakan layanan psikologis, memastikan transparansi, dan berkolaborasi dengan organisasi dan lembaga masyarakat. Dalam hal ini, korban tidak diakomodasi permintaannya agar pembangunan memorialisasi tersebut turut menunjukkan bahwa situs tersebut merupakan situs kekerasan dan pelanggaran HAM dengan mencantumkan nama-nama korban pembunuhan. Memorialisasi ini juga harus dilakukan dengan mengedepankan penghormatan terhadap tubuh manusia, yaitu dengan memberi penanda bahwa lokasi tersebut merupakan makam. Akan tetapi, proses pembangunan yang berjalan justru mengesankan bahwa living park tersebut hanyalah sebuah tempat wisata.

 

Masjid yang dibangun dalam area tersebut juga tidaklah diinginkan oleh korban, sebab sudah ada masjid dengan radius jarak yang terlalu dekat dengan lokasi tersebut. Saat ini pun, masih terdapat 28 korban peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998) yang belum mendapat pemenuhan hak atas reparasi, meskipun mereka telah didata oleh Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

 

Kekhawatiran mengenai hilangnya barang bukti pun kini menjadi nyata. Pada Maret 2024, para pekerja konstruksi living park di area Rumoh Geudong menemukan sejumlah tulang belulang manusia yang diduga kuat merupakan tulang dari para korban peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998). Penemuan ini harusnya mampu memberikan titik terang bagi proses hukum dan menjadi alat bukti yang kuat bagi Kejaksaan Agung untuk melanjutkan ke tahap penyidikan. Akan tetapi, pada kesempatan audiensi dengan Kejaksaan Agung pada tanggal 24 April 2024, korban dan organisasi masyarakat sipil malah diminta untuk menyampaikan temuan tersebut kepada Kepolisian. Pernyataan ini tentu bermasalah sebab tulang belulang tersebut ditemukan di lokasi kejadian peristiwa pelanggaran HAM yang berat dengan wewenang penyidikan berada di Kejaksaan Agung, bukan Kepolisian. Kejaksaan Agung juga mengklaim belum menerima informasi apapun dari Komnas HAM mengenai penemuan tulang belulang tersebut. Hal ini menjadi tanda tanya besar bagi komitmen negara dalam penuntasan pelanggaran HAM yang berat secara berkeadilan.

 

Oleh karena itu, kami mendesak

  1. Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Kejaksaan Agung agar melanjutkan ke tahap penyidikan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh;
  2. Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti penemuan tulang belulang di area pembangunan living park Rumoh Geudong dalam kaitannya dengan penyidikan kasus Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998);
  3. Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan rekomendasi dari laporan KKR Aceh mengenai hak pemulihan korban; dan
  4. Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk meningkatkan koordinasi dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh.

7 Agustus 2024

  1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
  2. KontraS Aceh
  3. PASKA Aceh
  4. Koalisi NGO HAM Aceh
  5. Asia Justice and Rights (AJAR)

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *