Jalan Harapan Pemenuhan Hak atas Kebenaran Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu
Dalam sidang paripurna DPR Aceh pada tanggal 12 Desember 2023, salah satu qanun yang masuk kedalam prolegda adalah Qanun KKR Aceh yang memang selama ini masih belum cukup komprehensif.
Meskipun situasi politik belakangan ini mundur, rasanya ada harapan saat legislative Aceh mulai berpikir kearah perbaikan qanun yang selama ini menjadi alas dalam kerja pengungkapan kebenaran, pemulihan dan rekonsiliasi di Aceh. Hasilnya nanti diharapkan berbagai kebijakan pembangunan menjadi mainstreaming dalam pemenuhan hak korban PHAM dan keberlanjutan pemulihan.
Di sisi lain, janji pemulihan dalam kerangka Nasional melalui PPHAM berbuntut banyak soal, selain dari tidak dimasukkannya usulan pemulihan yang diberikan oleh KKR Aceh kepada Tim PPHAM, sejumlah Upaya pemulihan yang dilakukan seperti setengah hati dan asal jadi. Begitu pula memorialisasi yang mengabaikan prinsip partisipasi korban secara bermakna (meaningful participation) sekaligus substansinya yang melenceng jauh dari kepentingan pemulihan dan kebenaran.
Kemudian, mengenai diterbitkannya Laporan Temuan KKR Aceh secara resmi melalui Sidang DPRA, 12 Desember 2023 lalu. Penerbitan laporan temuan tersebut merupakan momen paling krusial dalam proses keadilan transisi di Aceh pascakonflik silam. Untuk pertama kalinya, laporan tentang fakta pelanggaran HAM di Aceh diakui secara resmi oleh pemerintah, dalam hal ini KKR Aceh sebagai bagian dari lembaga pemerintah independen (non-struktural). KontraS Aceh mendesak Pemerintah Aceh menjadikan data dan fakta yang termuat dalam laporan tersebut sebagai baseline dalam pembangunan Aceh ke depan. Proses keadilan transisi pascadamai sama sekali belum usai. Para korban dan penyintas konflik masih belum mendapatkan hak-haknya. Karena itu wajib bagi pemerintah menindaklanjuti seluruh poin rekomendasi dalam laporan temuan tersebut.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Penerapan Qanun 4/2016 terkait pedoman kerukunan umat beragama dan pendirian tempat ibadah di Aceh yang masih menyisakan persoalan, terutama mengenai agenda pemenuhan hak-hak umat beragama selain Islam. Konteks kasus yang paling menuai atensi publik adalah pendirian tempat ibadah di Aceh Singkil, yang sempat memuncak tahun 2015 silam. Saat ini, penyelesaian masalah rumah ibadah tersebut masih diupayakan dapat diselesaikan melalui jalan dialog (KontraS Aceh termasuk yang mendorong opsi penyelesaian ini). Namun, KontraS Aceh menyoroti komitmen dari pemerintah yang hingga kini belum mampu menuntaskan ini. Terlebih isu tersebut sangat sensitif dan perlu diantisipasi agar tidak dipolitisisasi jelang tahun-tahun elektoral 2024. Sejak awal KontraS Aceh masih tetap pada upaya mendesak Pemerintah Aceh/DPRA harus meninjau ulang Qanun 4/2016 ini, karena telah berdampak luas terhadap hak beribadah umat beragama di Aceh.
Dalam kertas kebijakan yang pernah dirilis KontraS Aceh, Mei 2023 lalu, ada beberapa rekomendasi penting. Di antaranya, untuk menghindari konflik yang berkepanjangan, model dialog yang tepat untuk Aceh Singkil ialah dialog dengan pendekatan kebutuhan dasar. Sehingga semangat dialog adalah pendirian tempat ibadah didasarkan pada kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan. Selain itu, persyaratan dialog yang konstruktif adalah rasa saling percaya diantara kedua belah pihak yang bertikai. Perlu dibentuk tim independen sebagai mediator yang terdiri dari komponen masyarakat sipil, tokoh, akademisi keberagaman, unsur pemerintah, dan tokoh agama. Di sisi lain, komitmen Pemkab Singkil terkait pembentukan tim fasilitasi atas berbagai kendala yang dialami pengurus pendirian tempat ibadah, harus terus dikawal demi jalan penyelesaian masalah yang lebih konkret.
Masih berkaitan dengan kehidupan keberagamaan, KontraS Aceh juga mendesak pemerintah tegas dalam menangani kasus-kasus persekusi dan penolakan yang terjadi di internal muslim sendiri. Dalam hal ini, kita berangkat pada kasus pendirian mesjid At-Taqwa Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, yang belum tuntas. Ini menjadi PR bagi pemerintah untuk segera menyelesaikannya.
Kekerasan Seksual terus menggunung
Tahun 2023 ditutup dengan beberapa berita miris, diantaranya Seorang Ayah di kecamatan Lhoknga – Aceh Besar yang memperkosa Anak Sendiri. Di Aceh Tengah, kepala sekolah diamankan polisi setelah terbukti berkali-kali memperkosa murid yang merupakan anak. Ketidakpastian hukum terhadap pelaku yang disebabkan penggunaan Qanun Jinayat yang revisinya gagal meski telah masuk prolegda tahun lalu bersebab tidak keluarnya nomer konsultasi di kemendagri menyebabkan kita menutup tahun 2023 dengan berita kekerasan seksual di sejulah kabupaten di Aceh. Januari sampai Oktober 2023 (data https://dinaspppa.acehprov.go.id/) mencatat ada 510 kekerasan yang terjadi terhadap anak, 56% nya adalah kekerasan seksual. Urgensi perlindungan hukum terhadap anak semakin menjadi jadi sehingga revisi terhadap pasal terkait kekerasan seksual perlu dicabut jika tidak ingin Aceh menjadi ladang subur kekerasan seksual terhadap anak.
Membunuh Asa Rohingya untuk Bertahan HidupÂ
Kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh biasanya sekali setahun, dua tahun sekali atau setahun dua kali. Sejak 2021, khususnya setelah terjadi kudeta militer di Myanmar, frekuensi kedatangan meningkat yakni 3-9 kali dalam setahun. Isu penolakan pertama kali terhadap pengungsi Rohingya muncul pada tahun 2022 di Bireun dan Lhokseumawe, Aceh namun situasi terparah terjadi pada tanggal 27 Desember 2023, ketika sejumlah mahasiswa menggelar aksi penolakan dan pengusiran paksa terhadap para pengungsi yang berada di tempat sementara (Balai Meuseuraya Aceh) setelah mendarat di Ladong dan dipingpong ke sejumlah lokasi tetapi ditolak. 137 pengungsi (68 orang diantaranya adalah anak-anak) yang berada di BMA disaat  sejumlah pengungsi laki-laki kala itu sedang salat zuhur berjamaah. Di dalam video yang tersebar di media sosial, mahasiswa menuju ke kumpulan pengungsi yang terdiri dari mayoritas perempuan dan anak-anak, lalu mulai berteriak serta menendang sejumlah barang yang terhempas ke udara, termasuk melempar barang ke arah para pengungsi. Tindakan pengusiran paksa tersebut membuat para pengungsi berteriak histeris karena panik, anak-anak menangis dan lainnya hanya bisa pasrah meninggalkan tempat tersebut menuju Kanwilkumham. Kami menduga tindakan penolakan terhadap pengungsi Rohingya ini dilakukan secara terencana dan terorganisir, termasuk kejadian pengusiran paksa yang terjadi beberapa hari lalu maupun serangan kebencian yang juga ikut menargetkan Lembaga, pekerja kemanusiaan dan pihak-pihak yang dinilai mendukung atau pro-pengungsi.
Kami juga ingin mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa meskipun Indonesia belum menjadi negara penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 mengenai hak pengungsi dari luar negeri, tetapi Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap para pengungsi yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia, atas dasar kemanusiaan. Terlebih, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Perpres ini harus menjadi acuan utama dalam konteks penanganan pengungsi yang berlaku sebagai dasar hukum tingkat nasional. Selain adanya implementasi mandat dari tiap-tiap badan negara yang tercantum dalam Perpres tersebut, Perpres ini harus dipahami, dihargai, dan terus menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat sipil agar perlindungan pengungsi terus berlanjut. Lebih jauh, Indonesia sendiri telah mengakui hak seseorang untuk mendapatkan suaka politik sebagaimana tercantum dalam Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bab VI Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, dan Pasal 28 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Penting untuk kemudian mencatat mengenai cukup tingginya peredaran narasi untuk dilakukan pengembalian pengungsi Rohingya ke negara asal Myanmar. Hal ini sangat berbahaya mengingat situasi yang belum aman bagi pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar, mengingat besarnya potensi bagi pengungsi Rohingya untuk terekspos pada penyiksaan dan diskriminasi terhadapnya. Selain itu, hal ini juga melanggar prinsip fundamental dalam hukum internasional yaitu prinsip non-refoulement yang diatur dalam kebiasaan hukum internasional dan melalui Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Fenomena ujaran kebencian yang berlangsung selama 1 bulan ke belakang ini tidak lepas dari maestro atau penggiringan narasi yang dilakukan oleh sejumlah pihak demi mendapatkan atensi di atas informasi dasar yang semestinya dijadikan asupan utama masyarakat dalam memutuskan tindakannya lebih lanjut, seperti halnya tindakan anarkis dan xenophobic yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa.
Upaya menggalang suara di Aceh ini juga didorong oleh akun-akun buzzer dan meme yang kerap diikuti oleh netizen di media sosial yang tidak kalah masif dalam mengujarkan kebencian kepada pengungsi Rohingya. Para influencer dan komika juga tidak jarang menumpahkan minyak pada api kebencian masyarakat Indonesia kepada pengungsi yang sangatlah rentan.
Padahal, narasi ini sangat bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Salah satu kekosongan argumen ujaran kebencian ini adalah luputnya sebagian masyarakat Indonesia pada alasan paling fundamental pengungsi Rohingya harus bermigrasi dari Rakhine ke berbagai negara. Alasan utama adalah kekerasan militer junta yang tidak ada hentinya terhadap kelompok Rohingya. Kejahatan kemanusiaan berupa apartheid terhadap kelompok minoritas, penganiayaan, dan perampasan kebebasan terus dirasakan oleh kaum Rohingya. Salah satu kasus ternama adalah Topan Mocha yang merampas kurang lebih 400 jiwa kelompok Rohingya. Kekerasan muncul dimana militer junta tidak membiarkan bantuan asing datang ke kelompok tersebut dan menyebabkan efek domino seperti masyarakat yang kehilangan rumah, akses untuk makanan dan minuman, akses untuk air yang bersih, hingga hilangnya dokumen untuk kepentingan berkewarganegaraan. Perampasan hak untuk hidup inilah yang mendorong masyarakat Rohingya untuk bermigrasi ke tempat yang lebih layak untuk memenuhi kehidupannya.