48 Jam Pengungsi Rohingya Ditahan di Atas Truk oleh Pemerintah Indonesia

(8 November2024) Saling lempar tanggung jawab isu pengungsi dari luar negeri yang selama ini hanya berada di tataran naratif, kini terjadi secara tindakan. Pada 6 November 2024. Pemerintah Daerah Aceh Selatan mengangkut 152 pengungsi, yang juga terdiri dari 3 perempuan hamil serta lebih dari 80-an anak-anak dan perempuan, menggunakan truk ke Banda Aceh untuk meminta pertanggungjawaban negara. Tindakan ini dilakukan tanpa ada bantuan air, makanan, kesempatan untuk beribadah serta akses ke toilet. Lembaga kemanusiaan hanya mampu menyediakan makanan di tepi jalan , sejauh diizinkan. Pemerintah Pusat masih hening terkait perlakuan aparat negara terhadap para kelompok rentan yang seharusnya dilindungi ini. Hingga rilis ini ditulis, pengungsi masih berada di atas truk dan ditelantarkan oleh negara sejak di Aceh Selatan, Banda Aceh, Lhokseumawe dan kini dalam perjalanan menuju dataran tinggi Aceh Tengah. Pengungsi dipaksa melanjutkan perjalanan tanpa ada kejelasan tujuan.



Lempar Tanggung Jawab Pemerintah Aceh Selatan, Kementerian Hukum dan HAM, Pemerintah Aceh  dan Pemerintah Kota Lhokseumawe

Awalnya, pada tanggal 6 November, para pengungsi dipindahkan dari Aceh Selatan menjelang tengah malam dan menempuh perjalanan dalam truk hingga tiba pagi hari di Banda Aceh. Rombongan truk ini dikawal oleh polisi resort dan perwakilan pemerintah Aceh Selatan. Sementara pintu-pintu kantor pemerintahan yang dituju di Banda Aceh tertutup untuk mereka. Secara spesifik kantor yang dituju adalah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Aceh, yang memang membawahi Kantor Imigrasi. Saat hal ini terjadi, otoritas di Banda Aceh berdalih tidak ada koordinasi atau MoU antara Pemda Aceh Selatan ke Pemda Banda Aceh dalam penerimaan pengungsi.

 

Padahal alasan pengungsi dibawa oleh Pemda Aceh Selatan ke Banda Aceh karena wilayah mereka menjadi lokasi pendaratan pengungsi yang diselamatkan oleh Basarnas sesuai Perpres 125 Tahun 2016. Namun tahap selanjutnya tidak ditindaklanjuti oleh Imigrasi berupa pendataan dan koordinasi yang diikuti dengan serah terima kepada Pemda sesuai amanat Perpres. Setelah memberi waktu dua minggu dan tidak ada proses apapun, Pemda Aceh Selatan membawa pengungsi ke Kantor Wilayah Kemenkumham, yang membawahi Imigrasi yang berada di Banda Aceh sebagai ibukota Provinsi Aceh. Jadi bukan menyasar Pemko Banda Aceh.



Sebelum pemindahan ini terjadi, kondisi diawali dengan praktik lempar tanggung jawab tanpa koordinasi antar lembaga yang berwenang. Kantor Wilayah Kemenkumham di Aceh menjanjikan adanya pemindahan ke Lhokseumawe setelah pengungsi ditampung sementara di Aceh Selatan (https://www.antaranews.com/berita/4420113/kemenkumham-penampungan-rohingya-di-aceh-selatan-hanya-sementara). Pernyataan tersebut dibantah oleh Pemko Lhokseumawe yang mengaku bahwa tidak ada koordinasi pemindahan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan (https://www.ajnn.net/news/pemko-lhokseumawe-belum-terima-pemberitahuan-terkait-pemindahan-imigran-rohingya-di-aceh-selatan/index.html). Lokasi di Lhokseumawe yang sempat direkomendasikan oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan pun masih belum ada kejelasan.

 

Di tengah situasi yang runyam dimana antar lembaga negara saling bersitegang, ratusan pengungsi rentan tetap berada dalam truk. Selama negosiasi terjadi antara Pemerintah Aceh Selatan dan otoritas lainnya di Kantor Wilayah Kemenkumham, kepolisian menahan ratusan pengungsi tersebut di atas truk di depan kantor Kanwil Kemenkumham Aceh. Kondisi ini berjalan sepanjang hari pada Kamis 7 November 2024 di Banda Aceh. Dalam statement di media, kepolisian bahkan meminta untuk mereka dipulangkan lagi ke Aceh Selatan. 

Dalam hal ini, Pemerintah tidak menunjukkan komitmennya sesuai dengan tahapan yang sudah diatur dalam Perpres 125 Tahun 2016. Organisasi Masyarakat Sipil menghimbau Pemerintah untuk membaca ulang dan melaksanakan Perpres tersebut bukan malah memperkeruh.

 

Kondisi Para Pengungsi

Para pengungsi tidak boleh turun dari truk selama hampir 48 jam meski telah menempuh perjalanan panjang dan kondisi cuaca yang buruk. Laporan media menunjukan bahwa pengungsi yang juga termasuk anak-anak harus buang air di botol air mineral dan cara-cara yang tidak manusiawi dan tidak beradab.

 

Lembaga kemanusiaan yang tidak bisa berbuat banyak karena terbatas wewenangnya hanya bisa memantau kondisi mereka. Lembaga-lembaga ini perlu meminta izin untuk memberi mereka ruang dan turun dari truk saat kepanasan dan menyediakan makan pagi dan siang. Kurangnya bantuan kemanusiaan menyebabkan banyak perempuan dan anak mengalami dehidrasi karena panas dan kekurangan air.  Hal ini terang-terangan merupakan pelanggaran  HAM. 

 

Sembari menunggu kepastian, pengungsi telah diberikan bantuan makan, air, dan makanan ringan diantaranya oleh YSI dan YKMI. Kami mengutarakan rasa terimakasih kepada setiap lembaga kemanusiaan yang ikut serta membantu pengungsi dalam proses ini.

 

Di tengah desakan memulangkan pengungsi ke Aceh Selatan, kelompok mahasiswa hadir untuk mengadvokasi agar pengungsi ditempatkan di lokasi yang lebih manusiawi. Mereka mengadvokasi pihak kepolisian agar setidaknya diizinkan turun dari truk, serta tidak memulangkan pengungsi ke Aceh Selatan demi alasan kemanusiaan. Pengungsi masih terus terlantar sepanjang hari hingga malam hari di tanggal 7 November 2024.

 

Sayangnya koordinasi tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil. Spanduk-spanduk penolakan warga pun tiba-tiba muncul kembali. Tidak bisa diverifikasi apakah ini merupakan tindakan organik dari warga mengingat mahasiswa yang hadir sebelumnya pun justru mengadvokasi perlindungan pengungsi.

Penggunaan nama warga dan spanduk-spanduk penolakan ini terkesan sebagai sebuah pola pengkondisian baru sejak isu Rohingya menjadi bahasan elektoral sejak pemilu lalu.

 

Kelemahan Pemerintah Pusat dan Absennya Negara

Di tengah carut marut koordinasi antara pemerintah daerah Aceh termasuk Kemenkumham, penggunaan wewenang negara untuk menelantarkan pengungsi di atas truk tanpa penyediaan bantuan dasar, dan perlakuan tidak manusiawi, pemerintah pusat justru tidak hadir. Dalam hal ini, secara khusus Menteri Dalam Negeri yang memiliki wewenang terhadap para pemda, Kapolri yang memiliki wewenang atas pengamanan dan mengontrol tindakan kepolisian di daerah (Polda), dan tentu saja Kemenkopolhukam atau Menteri baru yang setara yang menjadi koordinator penanganan pengungsi sesuai Perpres.

 

Absennya negara membuat para pengungsi kembali lagi diseret ke dalam perjalanan tak menentu ke arah Aceh Selatan menjelang petang. Malam harinya, terdapat informasi bahwa Pemerintah Lhokseumawe telah bersedia menerima setelah ada dorongan dari Pemerintah Provinsi Aceh. Meski Pemprov tidak disebut memiliki peran dalam Perpres, kondisi tersebut tampaknya mengarahkan pemerintah provinsi untuk melakukan extraordinary measure meski sudah sangat terlambat.

 

Pengungsi pun kembali menempuh perjalanan pada 7 November malam hingga 8 November pagi ke Lhokseumawe, secara spesifik ke Gedung Ex Imigrasi Lhokseumawe. Seperti pola yang diorganisir, di sana telah menanti serombongan orang yang menamakan dirinya warga lokal, menolak pengungsi tersebut dimasukkan ke gedung. Pengungsi pun tidak diturunkan dan melanjutkan perjalanan tanpa tahu kemana tujuannya.

 

Hingga rilis ini ditulis, para pengungsi masih berada di dalam truk sejak mereka dibawa oleh Pemda Aceh Selatan pada 6 November tanpa solusi di Banda Aceh maupun Lhokseumawe. Saat ini kondisi hujan dan berkabut, dimana kami melihat bahwa pengungsi semakin rentan untuk sakit dan sopir truk semakin kelelahan.

 

Penutup

Tindakan pemindahan ini tidak akan terjadi jika koordinasi dilakukan sesuai Perpres 125 tahun 2016. Perpres memang memiliki banyak kekurangan utamanya terkait aturan prosedural teknis, pendanaan, dan aspek perlindungan. Namun Perpres secara spesifik sudah memiliki panduan terkait apa yang lembaga negara harus lakukan di setiap tahap ke pengungsian mulai dari penyelamatan di laut.

 

Fakta bahwa pengungsi adalah sesama manusia yang termasuk perempuan dan anak tak diindahkan. Mereka dibawa tanpa pemberitahuan dalam perjalanan dengan truk, ditelantarkan di depan Kanwil Kemenkumham Banda Aceh tanpa boleh turun dari truk, harus melakukan kegiatan buang hajat secara tidak manusiawi karena tidak diizinkan turun, ditolak oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya warga, dan dihilangkan martabatnya karena diseret-seret antar kota oleh negara tanpa kejelasan. Di kondisi ini, beragam komitmen Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia serta narasi-narasi diplomasi kemanusiaan Indonesia di kancah internasional tidak terlihat sama sekali.

 

REKOMENDASI:

  1. Mendesak penyelamatan pengungsi untuk segera diturunkan dari truk dan diberikan tempat istirahat dan penampungan sesuai standar kemanusiaan dan hak asasi manusia termasuk pengecekan kesehatan khususnya bagi kelompok rentan ibu hamil, anak-anak, dan pengungsi sakit.
  2. Mendesak Menteri Dalam Negeri untuk bertindak terkait carut marutnya koordinasi dan saling lempar tanggung jawab antar Pemda yang membuat pengungsi berada di atas truk tanpa bantuan dasar, serta memastikan implementasi Perpres secara efektif.
  3. Mendesak Kapolri untuk memastikan bahwa ada pengamanan bagi kondisi para pengungsi termasuk investigasi terhadap orang-orang yang mengaku sebagai warga yang menolak dan secara terorganisir membuat spanduk-spanduk atau provokasi penolakan meskipun sudah ada persetujuan dari Pemda Lhokseumawe untuk pengungsi ditempatkan di sana.
  4. Mendesak Menkopolhukam atau jabatan baru yang setara untuk menjalankan Perpres secara efektif dan memerintahkan bahwa Gedung Ex Imigrasi secara tegas dapat digunakan oleh pengungsi yang saat ini terkatung-katung di jalan. Atau bangunan lain yang dapat digunakan secara manusiawi untuk mereka berteduh, istirahat, dan ditampung.
  5. Mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI untuk melakukan pengawasan penanganan pengungsi serta meminta Ombudsman melakukan audit penanganan pengungsi sesuai Perpres 125/2016.  
  6. Mengapresiasi warga masyarakat dan lembaga kemanusiaan yang memberi bantuan meski mendapatkan tekanan-tekanan yang tidak manusiawi.
  7. Mendesak Pemerintah Indonesia memposisikan pengungsi sebagai saksi dan korban dalam kasus TPPO sehingga mereka wajib dilindungi.
  8. Mendesak pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan PBB, dan lembaga kemanusiaan untuk menyelaraskan respon kemanusiaaan agar situasi seperti ini tidak terjadi kembali di masa depan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *