Siaran Pers: Pembangunan 4 Batalyon Baru Mengusik Perdamaian, Jangan Perburuk Trauma Korban Pelanggaran HAM di Aceh

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menyatakan penolakan tegas terhadap rencana Pemerintah RI membangun empat Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) di Aceh, yang rencananya berlokasi di Kabupaten Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil.


Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan, pembangunan batalyon ini telah mengabaikan semangat perdamaian Aceh pasca penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) pada tahun 2005 silam.


“Ditambah lagi, penetapan tambahan batalyon ini benar-benar mengkhianati komitmen negara terhadap penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu di Aceh,” kata Husna.


Ia melanjutkan, MoU Helsinki secara eksplisit telah membatasi jumlah personel militer dan kepolisian organik di Aceh. Pada poin 4 dalam nota tersebut, dinyatakan bahwa, “Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang” (poin 4.7).


“Untuk saat ini saja, penting bagi pemerintah memonitoring apakah jumlah tersebut masih sesuai dengan kesepakatan, atau diduga malah sudah bertambah sejak lama,” tegas Husna.


Poin berikutnya dalam MoU Helsinki juga menyatakan, bahwa tidak akan ada pergerakan tentara besar-besaran setelah penandatanganan kesepakatan tersebut. Maka KontraS Aceh dengan tegas menyatakan bahwa pembangunan empat batalyon itu jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan tersebut.


“Artinya, ini sangat mengancam stabilitas perdamaian yang telah dijaga selama hampir 20 tahun di Aceh,” ungkapnya.


KontraS Aceh juga menyoroti lambannya proses reformasi institusi di Aceh, berangkat dari keadilan transisi pasca konflik silam. Sangat disayangkan jika agenda ini masih jauh dari harapan, mengingat tidak adanya akuntabilitas dan jaminan, bahwa tidak akan ada individu-individu terduga pelanggar HAM masa lalu bisa menduduki jabatan strategis militer di Aceh.


“Tanpa itu, keadilan transisi di Aceh jelas melemah, karena pemerintah abai pada hak korban untuk mendapat jaminan ketidakberulangan (guarantess of non-reccurence),” jelas Husna.


Gerus Kewenangan Sipil di Aceh

Sebelumnya, Dinas Penerangan Angkatan Darat mengklaim pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan untuk mendukung pencapaian swasembada pangan, di mana nantinya setiap batalyon ini bakal dilengkapi unsur kompi peternakan, pertanian, perikanan, dan kesehatan. KontraS Aceh lantas menyesalkan pernyataan itu. Seluruh fungsi-fungsi tersebut justru telah melucuti peran masyarakat sipil.


Husna mengatakan, seharusnya tugas tersebut dipimpin oleh sipil, dalam hal ini pemerintah daerah dengan menjalankan peran subordinasi. “Kita punya Bulog, Dinas Pertanian, kelompok tani (keujruen blang) dan lain-lain, yang memang ahlinya. Ada peran subordonasi di sana, sehingga solusinya bukan malah pembentukan batalyon,” imbuhnya.


Menjadikan TNI sebagai alat negara dalam sektor-sektor tersebut, dikhawatirkan berpotensi melanggengkan militerisasi sipil yang berpeluang menciptakan ketegangan, tindakan represi dan pelanggaran HAM.


“Penambahan pasukan perlu dipertanyakan. Jika alasan utamanya untuk ketahanan pangan, ini lebih tepat menjadi kewenangan sektor sipil, TNI tidak seharusnya mengambil alih tugas sipil,” kata Husna.


Langkah Mundur Penegakan HAM di Aceh

Hingga kini, proses keadilan transisi di Aceh masih jauh dari selesai. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh telah mengidentifikasi sedikitnya 6.000-an data kesaksian pelanggaran HAM yang terjadi antara tahun 1976 hingga 2005 di Aceh. Namun belum ada tindak lanjut signifikan dari pemerintah dalam pemenuhan hak-hak korban berkaitan dengan kebenaran, pemulihan dan rekonsiliasi.


Sementara itu, pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2022 juga belum memberikan hasil yang memadai. Tiga kasus pelanggaran HAM berat di Aceh –peristiwa Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan tragedi Jambo Keupok—hingga kini belum menerima pemulihan secara menyeluruh dari program tersebut.


“Saat pemulihan konflik dan melibatkan partisipasi bermakna dari komunitas korban, ditambah lagi keterbatasan rekomendasi tim PPHAM, maka keadilan transisi masih jadi pekerjaan besar, belum tuntas hingga kini,” kata Husna.


Lantas, dengan segala persoalan di atas, menurut KontraS Aceh, rencana pemerintah untuk menambah pasukan militer di Aceh justru sangat kontraproduktif. Langkah penambahan batalyon baru itu berisiko memperburuk trauma masyarakat Aceh yang belum pulih dari luka kekerasan dan pelanggaran HAM akibat konflik masa lalu.


“Sejarah panjang kekerasan oleh aparat keamanan, termasuk pembunuhan, penyiksaan, dan penghilangan paksa, masih membekas dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh. Pembangunan batalyon baru bisa memicu trauma, juga ketidakpercayaan terhadap pemerintah saat ini,” pungkasnya. []




Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *