KontraS Aceh pada Senin (15/7/2024) merespons informasi yang memuat data terkait tingginya kekerasan seksual (KS) di Aceh. Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan, angka yang terlihat bisa jadi jauh dari angka sebenarnya karena kekerasan seksual umumnya adalah fenomena gunung es.
“Kami percaya, korban sesungguhnya jauh lebih banyak,” kata dia.
Kekerasan seksual yang tinggi di Aceh ini, sambungnya, menunjukkan ada yang salah dalam penanganan kekerasan seksual di Aceh. Di antara penyebabnya: penerjemahan syariat Islam melalui hukuman cambuk semata, serta terabaikannya esensi pentingnya pemulihan serta dukungan kawom dan lingka (perlindungan berbasis komunitas)
Apalagi dalam banyak kasus, pelaku umumnya adalah orang di lingkaran terdekat, bahkan tidak sedikit dari lingkungan pendidikan keagamaan.
“Penggunaan relasi kuasa menjadi motif yang sangat sering bermunculan dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Ketiadaan aturan yang tepat dalam hal penanganan korban di Aceh juga menjadi katalisator kekerasan seksual yang terus meningkat angkanya,” ucap Husna.
Selain itu, kegagalan upaya revisi Qanun Jinayat serta keengganan menggunakan aturan yang lebih tinggi serta komprehensif, seperti UU No 12/2022 (UU PKS) dan UU No 35/2014 (UU PA), juga turut menambah derita korban.
“Tidak hanya penting untuk menghukum berat pelaku, aturan yang komprehensif mendesak dibutuhkan karena juga mementingkan pemulihan korban, yang selama ini seakan terabaikan dalam pola penanganan kekerasan semacam ini,” kata dia.
Dalam kondisi ini, KontraS Aceh lantas mendesak agar pemerintah segera melanjutkan upaya revisi Qanun Jinayat agar lebih selaras dengan UU No 12/2022 (UU PKS) dan UU No 35/2014 (UU PA) yang memberikan perlindungan lebih komprehensif bagi korban.
“Selain itu, juga sangat penting memmbangun sistem penanganan kekerasan seksual yang berfokus pada pemulihan korban, termasuk penyediaan layanan konseling dan dukungan psikososial,” kata Husna.
Di level penegak hukum, saat ini mendesak pentingnya penguatan aparat penegak hukum dan masyarakat tentang pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual.
“Pastikan adanya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan dan keagamaan,” ujarnya lagi. []