Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, mengkritik usulan pemerintah pusat melalui Kemendagri yang meminta Pemerintah Aceh mencabut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Menurut Husna, usulan dari Kemendagri itu sama halnya dengan mengkhianati semangat perdamaian Aceh yang sudah dijaga cukup lama. Pasalnya, kata Husna, pasca damai antara GAM dan Pemerintah RI, keberadaan KKR Aceh berperan mewujudkan mekanisme transisi keadilan untuk memastikan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Pemerintah pusat seharusnya tidak melakukan itu, yang harus dilakukan pemerintah pusat ya membuat KKR juga karena pelanggaran HAM Indonesia itu cukup banyak, bagaimana memastikan hak-hak korban, bukan malah menghilangkan yang sudah ada, kalau perlu belajar dari Aceh, karena itu menghianati semangat perdamaian,” kata Husna, Selasa (12/11/2024).
Husna mengungkap, KKR Aceh merupakan anak kandung perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI, karena keberadaan qanun tersebut juga termaktub dalam MoU Helsinki maupun UUPA.
Oleh karena itu, langkah pemerintah yang menyarankan untuk mencabut KKR Aceh, sama halnya dengan upaya menghilangkan kebenaran terkait pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. “Dan itu menjadi bagian dari melanggengkan impunitas, jadi perlu kita sampaikan itu,” ujarnya.
Husna mengakui bahwa di tingkat nasional juga terdapat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun menurut dia, keberadaannya tidak sama dengan KKR Aceh.
“KKR Aceh itu secara khusus, bukan karena oh dia lahir dari KKR nasional, bukan. Dia lahir karena ada perdamaian Aceh, alasnya adalah perdamaian Aceh, semangatnya semangat perdamaian Aceh,” tuturnya.
Di sisi lain, Husna menilai, pencabutan KKR Aceh juga akan menghalangi pemenuhan hak-hak korban, sebab KKR Aceh memiliki peran mengungkap kebenaran, melakukan reparasi dan melaksanakan rekonsiliasi. “Bayangkan jika KKR Aceh hilang maka hak-hak itu hilang, hak korban atas pemulihan, hak korban atas kebenaran itu ikut hilang,“ ungkapnya.
Jangan gegabah
Sementara itu, mantan Direktur Koalisi NGO HAM Risman Rachman meminta Pemerintah Aceh tidak gegabah menyikapi saran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang meminta mencabut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
“Pemerintah Aceh perlu konsultasikan lebih dahulu dengan DPR Aceh, termasuk meminta pertimbangan kepada para komisioner KKR Aceh,” kata Risman kepada Serambi, Selasa (12/11/2024).
Risman juga meminta Kemendagri agar melihat terlebih dahulu keberadaan KKR Aceh sebagai bagian dari semangat besar rakyat Indonesia untuk menghadirkan kembali Undang-Undang KKR usai dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). “Pembatalan MK itu bukan berarti menafikan hak rakyat korban untuk tahu atas apa yang terjadi di masa lalu,” ujarnya.
Di sisi lain, kata Risman, semangat menghadirkan kembali UU KKR itu juga pernah disinggung oleh Presiden RI, Joko Widodo, pada 16 Agustus 2022 lalu, dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR. Di mana Jokowi mengungkap bahwa RUU KKR masih dalam pembahasan.
Kemudian, apabila KKR Aceh termasuk bagian tak terpisah dari KKR Nasional, maka pengalaman 8 tahun KKR Aceh bekerja bisa menjadi masukan untuk membahas RUU KKR Nasional.
“Bagaimana pun, kita harus menyelesaikan kasus-kasus berat di masa lalu dengan mekanisme terhormat yaitu kebenaran dan rekonsiliasi, yang juga pernah ditempuh oleh negara lain, salah satunya Afrika Selatan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Plh. Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Suryawan Hidayat menyarankan Pemerintah Aceh mencabut Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), untuk kemudian berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal itu disampaikan Suryawan merespons surat Plh. Sekretaris Daerah Aceh Nomor:100.3/11557 tanggal 23 September 2024 hal Permohonan Fasilitasi Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, di Jakarta, Kamis (7/11/2024).
“Disarankan kepada Pemerintah Aceh untuk melakukan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Suryawan dalam surat Nomor 100.2.1.6/9049/OTDA yang dikutip ANTARA, Senin.
Adapun rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dilakukan pendalaman dan penajaman baik dari aspek yuridis formal dan materiil.
Ia pun meminta agar fasilitasi rancangan Qanun tidak dilanjutkan pembahasannya. Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 229 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.(r)
Harus Dipertahankan
Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh Mastur Yahya menegaskan, lembaga yang dipimpin dirinya tersebut harus dipertahankan agar rekomendasi reparasi (pemulihan) korban pelanggaran HAM berat pada masa lalu bisa terus berlanjut.
“Patut dipertimbangkan untuk mempertahankan eksistensi KKR Aceh, karena ada lima ribu lebih rekomendasi data KKR Aceh yang sudah diparipurnakan oleh DPRA sebagai data yang harus ditindaklanjuti untuk pemulihan korban ke depan,” kata Mastur kepada Serambi, Selasa (12/11/2024).
Pernyataan itu disampaikan Mastur menanggapi surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang meminta Pemerintah Aceh mencabut Qanun Nomor 17 Tahun 2013 Tentang KKR.
Mastur menjelaskan, mulai tahun 2017 hingga saat ini KKR Aceh sudah melakukan pengambilan pernyataan (pendataan dan pengungkapan kebenaran) terhadap lima ribu lebih korban pelanggaran HAM masa lalu di 14 kabupaten/kota.
Selain itu, kata Mastur, sejak KKR Aceh terbentuk dari periode pertama (2016-2021) hingga sekarang (2022-2027) pihaknya pernah beraudiensi dengan pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri, Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Bappenas, Kantor Staf Kepresiden, dan juga dengan Komisi III DPR RI.
“Materi audiensinya terkait rekomendasi data yang telah dihimpun oleh KKR Aceh, terutama sekali rekomendasi reparasi (pemulihan korban) dan program rekonsiliasi,” jelasnya.
Tidak hanya itu, KKR Aceh juga turut diminta membantu penyelesaian non yudisial terhadap tiga peristiwa pelanggaran HAM berat di Aceh yakni kasus Simpang KKA, Jambo Keupok, Rumoh Geudong, dan pos sattis lainnya yang dilaksanakan oleh Presiden Joko Widodo di tahun 2023 lalu.
Sejauh ini, kata dia, KKR Aceh juga masih terus bekerja sesuai mandat Qanun KKR Aceh Nomor 17 Tahun 2013. Bahkan, pihaknya atas dukungan dan koordinasi pemerintah daerah sedang menyiapkan mekanisme pelaksanaan reparasi, termasuk penyempurnaan konsep memorialisasi berbasis kearifan lokal.
“Di samping itu KKR Aceh juga terus melakukan pendekatan rekonsiliasi bagi korban yang membutuhkan,” sebutnya. Atas dasar itu semua, Mastur mengungkap bahwa lembaga KKR Aceh harus tetap dipertahankan guna menindaklanjuti ribuan data korban pelanggaran HAM berat di Tanah Rencong yang sudah direkomendasikan kepada pemerintah pusat.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh, Muhammad Junaidi, mengaku bakal mempertimbangkan terlebih dahulu perihal saran dari Ditjen Otda Kemendagri tersebut. Pihaknya akan berusaha mencari solusi terbaik. “Terhadap Saran Ditjen Otda Kemendagri tersebut kami akan melakukan kajian lebih lanjut sesuai keistimewaan dan kekhususan Aceh,” singkatnya.(r)
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Kemendagri Minta Aceh Cabut Qanun KKR, Pusat Khianati Semangat Damai