keberadaan situs penyiksaan Rumoh Geudong penting dilihat sebagai bukti pelanggaran HAM berat di masa lalu yang harus diakui oleh negara. Namun di sisi lain, pihaknya juga menegaskan beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam proses peresmian Memorial Living Park ini untuk memastikan pemenuhan hak korban secara komprehensif.
Azharul Husna

Banda Aceh, 15 Januari 2025 – Sejumlah organisasi masyarakat sipil Aceh menyampaikan respons terhadap rencana peresmian Memorial Living Park di situs Rumoh Geudong, Pidie, Aceh, yang disampaikan oleh Wakil Menteri HAM, Mugiyanto.
Adapun organisasi masyarakat sipil tersebut, yaitu Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), Katahati Institute, Koalisi NGO HAM, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, dan SPKP HAM Aceh.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menyebutkan keberadaan situs penyiksaan Rumoh Geudong penting dilihat sebagai bukti pelanggaran HAM berat di masa lalu yang harus diakui oleh negara. Namun di sisi lain, pihaknya juga menegaskan beberapa poin penting yang harus diperhatikan dalam proses peresmian Memorial Living Park ini untuk memastikan pemenuhan hak korban secara komprehensif.
Pertama, terkait penyelidikan pro-yustisia terhadap peristiwa Rumoh Geudong (Pidie), peristiwa Simpang KKA (Aceh Utara), dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan. Koalisi masyarakat sipil mendesak Komnas HAM untuk menindaklanjuti penyelidikan atas peristiwa-peristiwa tersebut.
“Selain itu, kami mendesak agar peristiwa lain yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat, seperti Bumi Flora di Aceh Timur, Arakundoe di Idi Cut, dan Timang Gajah di Bener Meriah, juga diselidiki lebih lanjut,” ujar Azharul Husna.
Dalam hal ini, sambungnya, Komnas HAM harus memastikan bahwa proses hukum atas peristiwa-peristiwa tersebut tetap berlangsung hingga ke Pengadilan HAM. Terlebih lagi, masyarakat sipil secara khusus menyoroti temuan tulang belulang manusia di situs Rumoh Geudong pada Maret 2024 lalu.
Temuan itu, menurut Husna, seharusnya ditindaklanjuti sebagai barang bukti penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi di masa pengoperasian Rumoh Geudong sebagai pos sattis, era tahun 1990-1998.
“Kami menegaskan pentingnya investigasi menyeluruh untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi keluarga korban,” desaknya.

Rekomendasi PPHAM hingga Partisipasi Korban
Selain itu, organisasi sipil di Aceh juga mendesak pemerintah untuk segera membentuk kembali Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PKPHAM). Tim ini harus memastikan bahwa rekomendasi yang telah dirumuskan oleh Tim PPHAM dapat dijalankan secara efektif.
Mereka juga meminta tim itu menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan rekomendasi kepada publik secara berkala.
“Mekanisme tersebut wajib melibatkan komunitas korban dalam setiap tahapan pelaksanaan rekomendasinya, untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas,” tambah Husna.
Sementara, mengenai pengelolaan Memorial Living Park Rumoh Geudong, elemen sipil meminta hal itu harus dilakukan dengan pendekatan yang transparan dan partisipatif. Pelibatan komunitas korban terhadap situs memori tersebut harus bermakna sejak dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan memorial ini.
“Pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh Wakil Menteri HAM, harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadikan memorial ini sebagai ruang pembelajaran dan refleksi sejarah bagi generasi mendatang,” tegasnya lagi.
Memorial Living Park, ujar Husna, bukan hanya simbol peringatan, tetapi juga harus menjadi langkah konkret dalam memenuhi hak-hak korban, baik dalam aspek kebenaran, keadilan, reparasi, maupun jaminan ketidakberulangan.
“Kami berharap pemerintah dan pihak terkait dapat bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa upaya memorialisasi ini benar-benar menjadi bagian dari langkah menyeluruh dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh,” tandasnya. []
Hormat Kami
Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF)
Katahati Institute
Koalisi NGO HAM
KontraS Aceh
LBH Banda Aceh
SPKP HAM Aceh