SIARAN PERS: PENGANIAYA JURNALIS DI ACEH DIVONIS 10 BULAN PENJARA

Kasus penganiayaan terhadap Kontributor CNN Indonesia TV Ismail M. Adam alias Ismed telah mencapai titik akhir. Pelaku yakni Iskandar divonis bersalah karena melanggar pasal 351 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan hukuman 10 bulan penjara. 

Putusan dibacakan oleh Hakim Ketua Arif Kurniawan serta didampimgi oleh dua hakim anggota yakni Ranmansyah Putra Simatupang dan Wahyudi Agung Pamungkas di Ruang Chandra Pengadilan Negeri Meureudu, Pidie Jaya, pada Kamis siang, 17 April 2025. 

Vonis hakim ini merupakan putusan ultra petita atau melebihi tuntutan yang sebelumnya diajukan dalam gugatan oleh penuntut umum M. Faza Adhiyaksa yakni hukuman enam bulan penjara, yang notabene tidak sampai seperempat dari maksimal ancaman hukuman seperti yang tertera di dalam pasal 351 ayat 1 KUHP.

 Hal yang menarik dari putusan ini ialah poin pertimbangan hakim yang di antaranya menyatakan bahwa penganiayaan yang dilakukan oleh Iskandar melanggar prinsip kebebasan pers seperti yang diatur di dalam UU No. 40/1999 tentang Pers. Kendati tidak dibunyikan sebagai bagian dari vonis, penyebutan ini sedikit banyak menunjukkan adanya pengakuan hakim bahwa dalam kasus ini telah terjadi kekerasan terhadap jurnalis serta sekaligus adanya penghormatan terhadap martabat kemerdekaan pers.

“Berdasarkan ketentuan UU No. 40/1999 tentang Pers, dalam menjalankan profesinya sebagai wartawan mendapat perlindungan hukum dan dalam meliput pemberitaan, wartawan dijamin kemerdekaannya yang bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan untuk penekanan terhadap masyarakat dalam memperoleh informasi terkait,” ucap Hakim Ketua Arif Kurniawan.

Di dalam poin keadaan yang memberatkan terdakwa, selain karena penganiayaan yang dilakukan kepada Ismed menyebabkan korban tidak dapat bekerja selama empat hari serta tidak tercapainya perdamaian antara kedunya, hakim juga menilai bahwa terdakwa tidak mendukung kemerdekaan pers. 

“Mengadili, satu menyatakan terdakwa Iskandar bin M. Yunus tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum. Dua menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana kepada terdakwa sebagai berikut dengan pidana penjara selama sepuluh bulan…,” demikian bunyi putusan hakim.

Putusan ini sendiri belum bersifat inkrah atau berkekuatan hukum tetap. Pihak terdakwa diwakili penasihat hukumnya diberi waktu tujuh hari untuk pikir-pikir apakah akan melakukan banding atau tidak atas putusan hakim.

Atas putusan ini, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh memberi sejumlah catatan. Sebagai berikut: 

Pertama, sedari awal kasus ini telah menjadi perhatian KKJ Aceh, sebagaimana komite yang terdiri dari organisasi profesi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil ini juga ikut mendampingi korban dengan cara mendesak aparat penegak hukum baik di level kepolisian maupun kejaksaan agar menjerat pelaku dengan pasal juncto, yakni bukan saja dengan pasal penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam KUHP, tetapi juga dengan pasal yang telah diatur di dalam ketentuan pidana Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. 

Delegasi KKJ Aceh bahkan secara khusus telah melakukan pertemuan dengan Kapolres Pidie Jaya AKBP Ahmad Faisal Pasaribu dan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Muhibuddin secara terpisah agar mempertimbangkan penggunaan pasal pelanggaran UU Pers dalam kasus ini. Dorongan ini kian gencar disemarakkan setelah KKJ Aceh mendapat bocoran bahwa kasus penganiayaan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh kepala desa ini masih berkutat seputar pasal penganiayaan sebagaimana yang diatur di dalam KUHP.

Pada akhirnya, setelah berkas kasus dinyatakan lengkap (P21) hingga sampai ke meja hijau, pasal pelanggaran UU Pers tidak pernah dibunyikan sama sekali. Aparat penegak hukum di dua instansi baik kepolisian maupun kejaksaan tidak menyentuh pasal tersebut sekali pun. 

Hal ini tentu amat sangat disayangkan. Faktanya, semua pihak yang terlibat di dalam persidangan mulai dari penuntut umum, penasihat hukum terdakwa, saksi, majelis hakim bahkan terdakwa tidak menyangkal bahwa korban mengalami penganiayaan diakibatkan karena aktivitas jurnalistiknya. Dengan kata lain, fakta persidangan menyatakan bahwa kasus ini berkaitan erat dengan pelanggaran atas prinsip kebebasan pers seperti yang diatur dalam UU Pers yang kelak secara mengejutkan juga diakui oleh majelis hakim dalam pertimbangan dalam amar putusan.

Perlu ditegaskan kembali bahwa dalam menjalankan tugasnya, jurnalis dilindungi oleh hukum. Jaminan ini dapat dilihat pada pasal 8 UU Pers. Konsekuensi pasal tersebut, terhadap setiap kerja jurnalistik yang ditempuh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), haram berlaku yang namanya penghalangan, sensor, perampasan peralatan, penahanan, penangkapan, penyanderaan, penganiayaan terlebih lagi pembunuhan. 

Konstitusi di negara ini juga mengakui kebebasan pers di mana pers nasional berhak mencari, memperoleh, mengolah, dan menyebarkanluaskan gagasan dan informasi serta tidak dapat dikenakan penyensoran, pemberedelan, serta pelarangan penyiaran sebagaimana yang ditegaskan di dalam pasal 4 UU Pers. Pelanggaran atas pasal ini dapat dijerat dengan hukuman pidana maksimal selama dua tahun penjara dan atau membayar denda paling banyak Rp500 juta. 

Untuk kasus ini, pelaku yogianya dijerat dengan pasal 351 ayat 1 KUHP juncto pasal 18 ayat 1 UU Pers. Konsekuensi hukum dari pemberlakuan juncto ini, berat dan ringan hukuman yang akan diterapkan atas pelaku tentu saja mesti tunduk pada pasal 351 ayat 1 KUHP selaku pasal yang memiliki kadar hukuman yang jauh lebih berat ketimbang pasal 18 UU Pers, 2,8 tahun ketimbang pasal 18 yakni 2 tahun.

Namun, harus digarisbawahi bahwa pentingnya penyertaan pasal dari UU Pers di dalam kasus ini tidak lain sebagai bagian dari upaya “penghormatan” terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. KKJ Aceh meyakini bahwa keputusan aparat penegak hukum untuk tidak memasukkan pasal dari UU Pers di dalam kasus penganiayaan terhadap jurnalis diakibatkan karena kompleksitas mulai minimnya pengetahuan, tidak tersedianya perangkat hukum yang mendukung, serta nihilnya perspektif perlindungan terhadap jurnalis itu sendiri. 

Selanjutnya, KKJ Aceh juga perlu menyoroti adanya upaya perdamaian yang gagal yang difasilitasi oleh Kejari Pidie Jaya dengan mekanisme Restorative Justice atau Keadilan Restoratif. Upaya Restorative Justice ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kejaksaan telah menjadi simbol dari Restorative Justice bahkan menempatkannya sebagai sebuah pencapaian.

Namun, untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis, mekanisme Restorative Justice ini amat tidak tepat atau bahkan tidak patut. Ini mengingat dampak dari kekerasan terhadap jurnalis selaku pengusung amanah undang-undang serta daya hancur dari kekerasan terhadap jurnalis bagi demokrasi yang amat merusak.

Di sisi lain, pihak kejaksaan sendiri dalam bertindak semestinya mengacu pada aturan internal yang dapat dilihat pada pasal 4 ayat 1 Perja No 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pasal ini menegaskan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice harus memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi–dalam kasus ini tidak lain tidak bukan ialah UU Pers.

Andai saja upaya perdamaian dengan pendekatan Restoratove Justice berhasil, maka ia akan berpotensi menjadi semacam yurispudensi dan mulai diterapkan pada kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya di Indonesia. Jika ini terjadi, maka UU Pers yang selama ini menjadi tumpuan bagi perlindungan kebebasan pers dan jurnalis akan kehilangan maknanya. 

Dalam persidangan, Hakim Ketua Arif Kurniawan juga sempat menawarkan kembali upaya Restorative Justice, tetapi kembali ditolak oleh Ismed. Sekali lagi, KKJ Aceh sadar bahwa dalam konteks peradilan pidana, Restorative Justice ini merupakan hal yang lumrah bahkan mekanisme ini dapat diterapkan pada semua tahapan, baik itu pra-ajudikasi, dalam hal ini penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun juga pada tahapan ajudikasi atau persidangan. Bahkan jika memungkinkan dapat juga diterapkan pada tahap purna ajudikasi atau pemasyarakatan. 

Namun, untuk kasus kekerasan terhadap jurnalis yang notabene memiliki dampak yang bahkan dapat melampaui korban itu sendiri karena koheren dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang di dalamnya berkelindan hal-hal seperti hak publik untuk tahu, satu-satunya yang dapat diambil sebagai acuan hanya UU Pers. 

KKJ Aceh juga menilai bahwa penuntut umum tidak menunjukkan rasa keberpihakannya kepada korban yang sudah dirasakan sejak awal persidangan. Semangat persidangan ini sedari awal bahkan terkesan tidak pernah berpihak kepada Ismed selaku korban hingga akhirnya hakim membunyikan putusan.

Bersama dengan siaran pers ini, KKJ Aceh juga mengajukan sejumlah poin penting:

  1. Aparat penegak hukum di level kepolisian dan kejaksaan agar memproses setiap kasus yang berkaitan dengan kekerasan terhadap jurnalis dengan UU Nomor 40/1999 tentang Pers;
  2. Aparat penegak hukum di level kepolisian dan kejaksaan agar mengedepankan perspektif perlindungan terhadap jurnalis dalam menangani perkara yang melibatkan jurnalis terutama untuk kasus penganiayaan dan kriminalisasi terhadap jurnalis;
  3. Pers itu bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat dalam memperoleh informasi terjamin, oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat agar menghormati setiap kerja jurnalistik yang dilaksanakan berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai penghormatan serta pengakuan terhadap kemerdekaan pers;
  4. Siapa pun yang merasa keberatan dengan sebuah produk jurnalistik atau pemberitaan, maka dapat menggunakan mekanisme seperti yang telah diatur di dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yakni dengan menggunakan hak jawab atau hak koreksi;
  5. Para jurnalis agar senantiasa mematuhi Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme;
  6. Para jurnalis yang menjadi korban kekerasan agar melaporkan setiap bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan.

Sepintas tentang Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh

KKJ Aceh merupakan bagian dari KKJ Indonesia. KKJ Aceh dideklarasikan pada 14 September 2024, yang saat ini beranggotan empat organisasi profesi jurnalis, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Aceh, serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh. Selanjutnya, tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA). 

Pidie Jaya, 17 April 2025

Narahubung: 

Koordinator KKJ Aceh Rino Abonita

Ketua AJI Banda Aceh Reza Munawir

Ketua PWI Aceh Nasir Nurdin

Ketua IJTI Pengda Aceh Munir Noer

Ketua PFI Aceh M. Anshar

Direktur LBH Banda Aceh Aulianda Wafisa

Koordinator KontraS Aceh Azharul Husna

Hotline KKJ Aceh +62 813-8384-3839

    Tinggalkan Komentar

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *