21 Tahun Seusai Tragedi HAM di Beutong Ateuh, Trauma Belum Lekang di Benak Warga

Lantunan azan magrib sayup terdengar dari kejauhan, kami berhenti pada sebuah pondok di atas bukit menghadap jurang. Di tengah guyuran hujan, dingin merambat bersama kabut tipis. Jarak pandang kian terbatas, cahaya lampu terlihat samar dari permukiman penduduk di wilayah Kecamatan Beutong Ateuh Benggalang, Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Tepat pukul 18.45 WIB, ponsel saya berdering. Si pemanggil adalah Yusri, bendahara Desa Blang Puuk, salah satu desa di sana. “Assalamualaikum, Sudah sampai buk?” tanyanya. “Sudah sampai di pondok tepi jurang,” jawab saya.

“Itu sudah tidak jauh lagi, sekitar satu kilometer perjalanan sudah sampai ke sini,” tutup Yusri.

Kami melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor di tengah hujan tak deras. Sepuluh menit berlalu, satu persatu rumah warga mulai terlihat, hingga tiba di jembatan besi penghubung menuju pusat kecamatan Beutong Ateuh Benggalang. Di sisi kiri terdapat kantor Kepolisian Resor (Polsek) dan Pos Rayon Militer Beutong Ateuh, di seberangnya ada beberapa toko kelontong yang baru buka.

Usai melewati jembatan, Yusri menyambut kedatangan kami dan memandu ke rumahnya, sekitar 500 meter dari ujung jembatan. Istri Yusri menyuguhkan kami teh hangat, sambil menemani minum bersama. Hawa dingin mengantarkan kantuk, dan kami terlelap di rumah itu.

Berkunjung ke Beutong Ateuh Benggalang, saya bersama beberapa jurnalis lainnya punya agenda, ingin merekam kondisi wilayah pedalaman di perbatasan Nagan Raya dan Aceh Tengah tersebut. Tentang pembangunan, keindahan alam dan ingatan warga pada tragedi pelanggaran HAM masa lalu.

Kawasan Desa Blang Meurandeh, Beutong Ateuh Benggalang, pedalaman Nagan Raya, Aceh. Menyimpan kenangan pahit masa konflik Aceh. Foto: Siti Aisyah/acehkini

Sabtu pagi, (9/1/2021), mentari menampakkan wujud di kaki langit. Angin sepoi mengantarkan sejuk beriring kicauan burung dan riuh jangkrik. Istri Yusri telah menyiapkan sarapan untuk kami, tak lama kemudian Yusri mengajak keliling kampung.

Jauh dari kebisingan, Kecamatan Beutong Ateuh terletak di lembah Gunung Singgah Mata, serta diapit Gunung Abong-abong dan Gunung Tangga, dalam gugusan Bukit Barisan. Punya luas sekitar 585,88 kilometer persegi, ada lima desa di sana; Desa Blang Puuk, Blang Meurandeh, Kuta Teungoh, Babah Suak dan desa persiapan Pintu Angen.

Berjarak sekitar 75 kilometer dari pusat Kabupaten Nagan Raya, lokasi itu harus dilewati dengan jalur menanjak dan berbelok, serta melintasi Gunung Singgah Mata yang berada di ketinggian 2.800 meter dari permukaan laut.

Kata Yusri, warga di sana menggantungkan hidup pada tanahnya yang subur, bertani, berladang, dan berternak. Kawasan ini juga kaya sumber daya alam, kandungan emasnya pernah akan dieksploitasi oleh sebuah perusahaan pertambangan. Tapi warga menolak kehadirannya.

Tragedi Masa Konflik Aceh

Di balik alam yang tenang, Beutong Ateuh menyimpan kenangan lama yang belum lekang dari ingatan warga, kisah tragis pembantaian Teungku (Tgk) Bantaqiyah dan santrinya di pesantren Babul Mukarram pada 23 Juli 1999 oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Saat itu konflik masih mendera, setelah GAM menyuarakan kemerdekaan Aceh sejak 4 Desember 1976.

Teungku Bantaqiyah merupakan ulama cukup disegani di Aceh, kala itu letak pesantrennya masih tergabung dalam wilayah Kabupaten Aceh Barat. Ia dikenal sebagai ulama yang konsisten. Karenanya, banyak citra negatif diberikan untuk merusak nama baik sang Teungku.

Beliau pernah dikecilkan dengan sejumlah isu, seperti mengajarkan aliran sesat, namun tak terpengaruh. Pengajiannya tak pernah sepi. Gagal dengan isu aliran sesat, Bantaqiyah diterpa dengan legalisasi ganja. Pada 1993, aparat menangkap Teungku Bantaqiyah dengan alasan memiliki kebun ganja yang dengannya ia menyokong Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), sebutan resmi pemerintah -saat itu- untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kasus ini membuatnya dijebloskan ke penjara Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan. Ia divonis 20 tahun penjara.

Gelombang reformasi yang terjadi di Indonesia membuat rezim Soeharto dengan Orde Barunya runtuh oleh gerakan mahasiswa, pada Mei 1998. Ini mengantarkan BJ Habibie ke puncak kekuasaan. Pada masanya, tahanan politik dan narapidana politik diberikan amnesti. Bantaqiyah merupakan salah seorang narapidana politik yang diampuni Presiden Habibie.

Pesantren Tgk Bantaqiyah. Dok. Feri Kusuma/KontraS

Setelah bebas dari Tanjung Gusta, Bantaqiyah kembali ke perkampungannya di pedalaman Nagan Raya. Sejak kembali ke Beutong Ateuh pada 28 Mei 1999, Tgk Bantaqiyah tidak ingin mengajar ngaji lagi. Namun atas permintaan masyarakat, beliau akhirnya kembali membuka pengajian. Saban hari Jumat, warga mendatangi balai untuk belajar Alquran dan kitab kuning, hingga tragedi itu terjadi menjelang salat Jumat, 23 Juli 1999.

Pembantaian bermula sekitar pukul 11.00 WIB, Tgk Bantaqiyah dan puluhan muridnya sedang berada di balai pengajian ketika ratusan personel TNI mendatangi pesantren. Mereka berteriak memerintahkan semua orang berkumpul. Pesantren dicurigai menyimpan senjata dan mendukung GAM, namun tuduhan itu tak pernah terbukti.

Sempat terjadi dialog antara Bantaqiyah dan aparat, namun tak diketahui isinya. Tiba-tiba, sejumlah tentara melepaskan tembakan. Teungku memberi aba-aba agar warga dan santrinya tiarap untuk menghindari tembakan.

Panik, tangisan, teriakan beradu di antara desing peluru. Tgk Bantaqiyah tersungkur di tembakan ketiga. Menjelang hari Jumat, kompleks balai pengajian Tengku Bantaqiyah berubah menjadi ‘ladang’ pembunuhan.

Dalam laporan yang disampaikan KontraS dan Koalisi NGO HAM Aceh, tercatat sebanyak 57 orang penghuni Pesantren Babul Al-Mukarramah menjadi korban, termasuk Tgk Bantaqiyah. Ada sebanyak 34 jasad yang meninggal di pesantren, sebanyak 23 penghuni pesantren lainnya ditemukan beberapa hari kemudian di jurang kilometer tujuh lintasan Beutong Ateuh-Aceh Tengah.

Kasus itu mendapat sorotan serius dari negara. Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 88 Tahun 1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak kekerasan di Aceh (KIPTKA). Tragedi diusut, hingga sejumlah pelaku diadili lewat Pengadilan Koneksitas.

Sebanyak 25 prajurit TNI diajukan ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sidang perdana Pengadilan Koneksitas di Banda Aceh digelar Rabu, 19 April 2000. Hanya satu orang penanggungjawab pembantaian yang tak mampu dihadirkan ke pengadilan, Letnan Kolonel Sudjono, saat itu menjabat Pasie Intel Korem 011/Lilawangsa, sampai kini keberadaannya masih misteri.

Bangunan tempat Tgk Bantaqiyah dan santrinya dimakamkan. Foto: Habil Razali/acehkini

“Tragedi terjadi di Desa Blang Meurandeh,” kata Yusri. Desa tersebut adalah tetangga Desa Blang Puuk, tempat tinggal Yusri. Kami dibawa Yusri ke sana. Dalam perjalanan kami melewati pesantren Babul Mukarramah yang menjadi lokasi pembantaian sang ulama dan para santri. Tempat itu tampak sepi, dari luar pagar terlihat tidak ada aktivitas apapun. Sejenak berhenti, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah Tgk Malikul Aziz. Beliau adalah anak Tgk Bantaqiyah yang saat ini menjadi pimpinan pesantren peninggalan ayahnya.

Berkaos hitam lengan panjang dan peci di kepalanya, beliau datang menemui kami. Tgk Malikul bertanya tentang maksud kami ke sana. Namun, ketika disentil soal tragedi 1999, seketika wajahnya berubah, nada suara meninggi. Ia tak ingin mengingat, apalagi membahas peristiwa tersebut.

”Karena orang Beutong itu korban konflik semua, marah orang saja, untuk apa tanya-tanya konflik lagi (masa lalu),” katanya dalam bahasa Aceh.

Tgk Malikul Aziz, mengatakan enggan mengingat apalagi membahas peristiwa itu karena hanya akan membuka kenangan hitam. Menurutnya, jika berbicara kepedulian setelah kejadian tersebut, hampir tidak ada sama sekali. Dalam ingatannya, hanya ada bantuan pribadi dari seorang pejabat pusat sebesar Rp 800 juta. “Dengan uang itu satu masjid dibangun, dan untuk korban konflik, itu pun dikasih untuk orang lain lagi. Bisa ditanya ke orang yang menerima, karena saya tidak terima,” ujarnya.

Setelah dari bantuan tersebut, lanjut Malikul Aziz, para korban tidak pernah mendapatkan perhatian atau bantuan jenis apapun. “Bantuan pun tidak ada, apalagi pemulihan psikologi, tidak ada. Itu tidak usah dipikir lagi, karena memang tidak pernah diberi,” ungkapnya.

Ia menyebut, Jika dirupiahkan, kerugian yang dialami keluarganya karena kebrutalan aparat yang membakar pesantren hingga hewan ternak yang mati terkena peluru, mencapai Rp 2 miliar. Itu belum lagi kerugian yang disebabkan trauma bagi keluarga korban.

“Pesantren itu uang sendiri dibangun, uang sedekah jamaah. Dulu habis dibakar semua, lihat saja kondisi dayah. Itu sekarang (dibangun lagi) dari sedekah jemaah, sedekah orang kampung,” urainya.

Masjid yang dibangun usai tragedi. Foto: Siti Aisyah/acehkini

Kata Tgk Malikul Aziz, dulunya sudah pernah mengusulkan pendanaan rehabilitasi pesantren dan untuk para korban konflik melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Namun, hingga kini tak ada kabar pasti mengenai hal tersebut. Lalu mereka putus asa dan memilih menyimpan sejarah kelam itu, memulai kehidupan baru.

“Kalau yang rugi pada masa itu, tidak usah diungkit lagi, sudah ada yang datang tapi tidak dihiraukan seperti proposal masa BRR dulu. Pergi (ke sini) menghitung kerugian kami yang mencapai 2 miliar, tapi itu tidak dibayar,” tutupnya.

Trauma Masih Membekas

Enggan berkisah tentang kenangan masa lalu, dirasakan R, salah seorang anak korban saat tragedi itu. Saat kejadian, R melihat langsung bagaimana sang ayah disiksa, kemudian diangkut oleh aparat menggunakan truk menuju arah Takengon (Aceh Tengah) dengan dalih ingin diobati. Namun kemudian dihabisi.

Masa itu, R Bersama ibu dan tiga orang kakaknya harus berjuang keras untuk mencari kuburan sang ayah. Setelah dua tahun pencarian dengan bantuan warga, pusara ditemukan pada sebuah kampung di Aceh Tengah. Lima bulan berselang, ibunya sakit parah hingga meninggal dunia.

“Selama dua tahun kami cari-cari, karena waktu itu orang nggak berani bilang, Setelah dapat kuburan ayah, mamak sakit parah,” kisahnya.

Awalnya R sempat ingin bercerita tentang trauma yang dialaminya. Tapi belakangan menolak dengan dalih tidak ingin mengingat masa kelam yang hingga kini masih belum mendapat keadilan. “Udah dek, nggak perlu lagi di tulis ya, enggak penting semuanya, dari dulu banyak yang tanya ke keluarga kakak dari wartawan, tapi nggak ada perubahannya.”

“Sekarang nggak usah ditanya lagi, buat sakit hati. Kalau dibilang mendapatkan hak yang setimpal, memang nggak akan pernah tergantikan apa yang udah orang buat ke keluarga, tapi kita sudah ikhlas,” tutup R, menolak identitasnya ditulis.

Sikap dari para keluarga korban, dipahami Yusri. Menurutnya, sikap yang ditunjukkan oleh semua korban konflik di daerahnya terbilang sama, akan terusik jika ditanya soal masa kelam dan keadilan yang hingga saat ini belum dirasakan.

“Orang korban konflik di sini kalau dibahas masalah pembantaian masa itu memang marah, sudah kecewa, sudah lama enggak mau diungkit lagi, sudah trauma, nangis kita kalau ingat itu. Karena tidak ada di peduli,” ujarnya.

Warga lainnya, Tarmizi juga mengatakan hal serupa, ia menyebut semua korban konflik yang berada di daerah Beutong Ateuh Benggalang ini belum mendapatkan keadilan, jangankan untuk pemulihan psikis, ganti rugi materi yang telah hilang pada masa itu saja belum semuanya terbayar.

“Setelah konflik itu, di sini tidak pernah ada apapun (bantuan). Yang ada cuma masjid di samping pesantren, itupun uang pribadi bukan dari pemerintah. Kalau dari pemerintah memang tidak ada sama sekali. Bukan kita saja korban, hewan ternak juga korban seperti kerbau semua dirampas. Padahal binatang apa salah dia, tapi dibunuh ditembak,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Pokja Pengungkapan Kebenaran pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Evi Narti Zain, mengatakan pihaknya belum melakukan pengambilan pernyataan secara menyeluruh terhadap korban tragedi Teugku Bantaqiah. “Untuk kasus Beutong Ateuh secara prinsip kami sudah melakukan analisis pada kasus tersebut, karena sudah ada putusan hukumnya, tapi kami belum mengambil pernyataan kepada setiap korban yang berkaitan dengan kasus tersebut,” katanya.

Pihak KKR Aceh sendiri mengaku belum pernah melakukan kegiatan seperti memorialisasi pada korban di Beutong Ateuh karena ada beberapa faktor yang menjadi kendala, salah satunya adalah waktu dan pendekatan khusus terhadap para korban. Ia menyebut dalam waktu dekat di tahun 2021, KKR Aceh berencana berkunjung ke sana.

“Karena kerja kami itu merekomendasikan untuk reparasi, kemudian untuk proses rekonsiliasi harus ada pendekatan khusus, dan yang akan kami lakukan di sana adalah melakukan memorialisasi nantinya dan itu sudah ada pembicaraan awal dengan pimpinan pesantren,” katanya.

Gambar ini memiliki atribut alt yang kosong; nama berkasnya adalah KKR.jpg
Evi Narti Zain (kedua kanan) dan Afridal Darmi (keempat kanan) saat jumpa pers terkait pelanggaran HAM di kantor KKR Aceh. Foto: acehkini

Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi, menyebutkan mandat pertama KKR Aceh adalah mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran HAM, selanjutnya baru direkomendasikan reparasi kepada korban.

“Hanya setelah pengungkapan kebenaran dilakukan KKR, barulah kita boleh bicara soal reparasi atau sederhananya itu memberikan bantuan pemulihan kepada korban agar bisa dipulihkan dari penderitaan pelanggaran HAM,” katanya.

“Jadi kalau misalnya ditanya bantuan apa yang sudah diberikan kepada korban tragedi Teungku Bantaqiyah, nggak bisa kami jawab karena pengungkapan kebenaran belum dilakukan (KKR),” pungkasnya. []

Note: Penulis adalah penerima fellowship dari pelatihan HAM, media dan keadilan transisi yang diselenggarakan oleh AJI Banda Aceh, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh dan AJAR.

[Acehkini/Siti Aisyah]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *