Sejak November 2023, berlabuhnya kapal-kapal yang berisi ratusan pengungsi etnis Rohingya di Aceh, Indonesia secara beruntun menjadi sorotan publik. Dalam catatan KontraS Aceh, kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia saat ini sudah yang ke 39 kalinya. Kapal yang membawa pengungsi pertama kali mendarat pada tanggal 7 Januari 2009, yang saat itu dikenal sebagai manusia perahu. Barulah setelahnya baru diketahui bahwa mereka adalah pengungsi beretnis Rohingya. Kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh biasanya sekali setahun, dua tahun sekali atau setahun dua kali. Sejak 2021, khususnya setelah terjadi kudeta militer di Myanmar, frekuensi kedatangan meningkat yakni 3-9 kali dalam setahun.
Isu penolakan pertama kali terhadap pengungsi Rohingya muncul pada tahun 2022 di Bireuen dan Lhokseumawe, Aceh namun situasi terparah terjadi pada tanggal 27 Desember 2023, ketika sejumlah mahasiswa menggelar aksi penolakan dan pengusiran paksa terhadap para pengungsi yang berada di tempat pengungsian sementara. Awalnya massa aksi menyasar gedung DPRA. Setelah orasi dan berjumpa dengan salah satu anggota dewan yang mengiyakan tuntutan soal Tolak Rohingya, massa beralih ke Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) -di mana 137 pengungsi yang awalnya mendarat di Ladong dan dipingpong ke sejumlah lokasi tetapi ditolak- berada. BMA mahasiswa menerobos barikade polisi dan bergerak menuju ke pusat penempatan pengungsi di mana sejumlah pengungsi laki-laki kala itu sedang salat zuhur berjamaah. Tidak cukup sampai di situ, di dalam video yang tersebar di media sosial, mahasiswa menuju ke kumpulan pengungsi yang terdiri dari mayoritas perempuan dan anak-anak, lalu mulai berteriak serta menendang sejumlah barang yang terhempas ke udara, termasuk melempar barang ke arah para pengungsi. Tindakan pengusiran paksa tersebut membuat para pengungsi berteriak histeris karena panik, anak-anak menangis dan lainnya hanya bisa pasrah meninggalkan tempat pengungsian dengan wajah memelas. Kami menduga tindakan penolakan terhadap pengungsi Rohingya ini dilakukan secara terencana dan terorganisir, termasuk kejadian pengusiran paksa yang terjadi beberapa hari lalu maupun serangan kebencian yang juga ikut menargetkan staf pekerja kemanusiaan dan pihak-pihak yang dinilai mendukung atau pro-pengungsi.
Kami juga ingin mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa meskipun Indonesia belum menjadi negara penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 mengenai hak pengungsi dari luar negeri, tetapi Indonesia memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap para pengungsi yang berada di wilayah kedaulatan Indonesia, atas dasar kemanusiaan. Terlebih, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Perpres ini harus menjadi acuan utama dalam konteks penanganan pengungsi yang berlaku sebagai dasar hukum tingkat nasional. Selain adanya implementasi mandat dari tiap-tiap badan negara yang tercantum dalam Perpres tersebut, Perpres ini harus dipahami, dihargai, dan terus menjadi pengingat bagi seluruh elemen masyarakat sipil agar perlindungan pengungsi terus berlanjut. Lebih jauh, Indonesia sendiri telah mengakui hak seseorang untuk mendapatkan suaka politik sebagaimana tercantum dalam Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bab VI Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, dan Pasal 28 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Indonesia juga telah secara aktif meratifikasi Konvensi-Konvensi HAM fundamental lainnya yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pengungsi. Pada konteks penyelamatan pengungsi yang melarikan diri, perlindungan terhadapnya adalah salah satu implementasi pemenuhan perlindungan hak atas kehidupan yang tercantum dalam Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Selain itu, perlindungan pada kelompok rentan yang lebih khusus, yaitu perempuan dan anak-anak juga berkaitan pada situasi ini. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi mengenai Hak-Hak Anak (CRC). Oleh karenanya, Konvensi-Konvensi HAM ini harus menjadi basis utama dalam perlindungan HAM bagi pengungsi Rohingya pada saat perjalanan, dalam proses penerimaan, dan pada saat mendarat dan mendapatkan perlindungan di wilayah Indonesia, termasuk juga menyanggah argumentasi soal ketiadaan kewajiban negara dalam melindungi pengungsi Rohingya karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Selain itu, perlindungan ini juga berkaitan dengan perlindungan pengungsi dari adanya diskriminasi rasial yang tercipta akibat sirkulasi ujaran kebencian melalui media sosial dan media massa. Indonesia, telah meratifikasi Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD).
Penting untuk kemudian mencatat mengenai cukup tingginya peredaran narasi untuk dilakukan pengembalian pengungsi Rohingya ke negara asal Myanmar. Hal ini sangat berbahaya mengingat situasi yang belum aman bagi pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar, mengingat besarnya potensi bagi pengungsi Rohingya untuk terekspos pada penyiksaan dan diskriminasi terhadapnya. Selain itu, hal ini juga melanggar prinsip fundamental dalam hukum internasional yaitu prinsip non-refoulement yang diatur dalam kebiasaan hukum internasional dan melalui Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Eskalasi konflik tidak hanya timbul begitu saja menimbang isu pengungsi sudah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia. Sebab, pengungsi Rohingya bukanlah pengungsi pertama yang datang dengan jumlah yang sedemikian rupa banyaknya. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi, pengungsi di Indonesia sebagian besar datang dari Afghanistan sebanyak 55%, Somalia 10%, dan Myanmar 6% per Oktober 2023. Belum lagi perbandingan lebih dari 100 ribu pengungsi Rohingya di Malaysia dan ribuan lainnya di Cox Bazar hingga kapasitasnya yang sudah overload.
Hal ini mengarahkan kita para pertanyaan yang mendasar Mengapa isu tersebut baru muncul saat ini di saat berbagai organisasi seperti IOM dan UNHCR sudah bekerja sama selama puluhan tahun dengan pemerintah Indonesia? Fenomena ujaran kebencian yang berlangsung selama 1 bulan ke belakang ini tidak lepas dari maestro atau penggiringan narasi yang dilakukan oleh sejumlah pihak demi mendapatkan atensi di atas informasi dasar yang semestinya dijadikan asupan utama masyarakat dalam memutuskan tindakannya lebih lanjut, seperti halnya tindakan anarkis dan xenophobic yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa.
Upaya menggalang suara di Aceh ini juga didorong oleh akun-akun buzzer dan meme yang kerap diikuti oleh netizen di media sosial yang tidak kalah masif dalam mengujarkan kebencian kepada pengungsi Rohingya. Para influencer dan komika juga tidak jarang menumpahkan minyak pada api kebencian masyarakat Indonesia kepada pengungsi yang sangatlah rentan.
Padahal, narasi ini sangat bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Salah satu kekosongan argumen ujaran kebencian ini adalah luputnya sebagian masyarakat Indonesia pada alasan paling fundamental pengungsi Rohingya harus bermigrasi dari Rakhine ke berbagai negara. Alasan utama adalah kekerasan militer junta yang tidak ada hentinya terhadap kelompok Rohingya. Kejahatan kemanusiaan berupa apartheid terhadap kelompok minoritas, penganiayaan, dan perampasan kebebasan terus dirasakan oleh kaum Rohingya. Salah satu kasus ternama adalah Topan Mocha yang merampas kurang lebih 400 jiwa kelompok Rohingya. Kekerasan muncul dimana militer junta tidak membiarkan bantuan asing datang ke kelompok tersebut dan menyebabkan efek domino seperti masyarakat yang kehilangan rumah, akses untuk makanan dan minuman, akses untuk air yang bersih, hingga hilangnya dokumen untuk kepentingan berkewarganegaraan. Perampasan hak untuk hidup inilah yang mendorong masyarakat Rohingya untuk bermigrasi ke tempat yang lebih layak untuk memenuhi kehidupannya.
Berdasarkan penjelasan diatas, kami merekomendasikan agar:
- Pemerintah pusat maupun daerah melakukan sosialisasi masif kepada berbagai lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa, terkait larangan untuk melakukan tindakan anarkis dan main hakim sendiri, menyebarkan berita-berita hoaks yang menimbulkan kebencian terhadap para pengungsi Rohingya, maupun tindakan-tindakan lainnya yang dapat memperkeruh situasi;
- Pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dengan akademisi maupun kelompok masyarakat sipil untuk memberikan pemahaman dan informasi menyeluruh kepada publik tentang situasi pelanggaran HAM yang dialami oleh etnis Rohingya di negaranya yang melatarbelakangi etnis Rohingya bermigrasi ke Indonesia, komitmen Indonesia dalam perlindungan pengungsi sesuai prinsip non-refoulement, hukum keselamatan di laut atau UNCLOS, serta pentingnya bersolidaritas terhadap etnis Rohingya sebagai sesama manusia yang seharusnya merdeka dari kekerasan dan diskriminasi;
- Media untuk lebih berhati-hati dan objektif dalam memberitakan situasi dan kondisi pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia, khususnya Aceh, agar tidak memicu permusuhan atau kebencian di masyarakat, termasuk tidak memberikan ruang bagi pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini;
- Pemerintah pusat dan daerah untuk menindaktegas segala bentuk provokasi dan penyebaran misinformasi yang banyak muncul di masyarakat saat ini dan melakukan mitigasi strategis guna mencegah terjadinya tindakan main hakim sendiri di kemudian hari;
- Pemerintah pusat untuk mengeluarkan aturan hukum yang lebih jelas dalam penanganan terhadap pengungsi luar negeri, mengingat Indonesia belum menjadi negara penandatanganan Konvensi Pengungsi, termasuk melakukan revisi terhadap Perpres 125 Tahun 2016.
28 Desember 2023
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
KontraS Aceh
SUAKA
FORUM-ASIA
Asia Justice and Rights (AJAR)