Peristiwa kematian warga Aceh Utara, SA (51 tahun), menambah daftar panjang kasus kekerasan yang diduga melibatkan anggota kepolisian. Kali ini, menurut pengakuan pihak keluarga korban yang terungkap melalui pemberitaan media, korban ditangkap sejumlah anggota Polres Aceh Utara pada 29 April 2024 terkait dugaan penyalahgunaan narkotika.
Saat proses penangkapan tersebut, diduga terjadi tindakan penganiayaan lantaran korban dipaksa mengaku memiliki narkoba. Dalam pengakuan keluarga korban, pelaku sempat meminta uang tebusan puluhan juta rupiah yang terpaksa disanggupi pihak keluarga. Namun, saat tiba di rumah, korban SA dalam kondisi parah dengan badan penuh lebam dan pendarahan di bagian telinga.
Korban dinyatakan meninggal di IGD RS Kesrem Lhokseumawe. Keluarga korban telah melaporkan kasus kekerasan ini ke Polres Lhokseumawe pada 2 Mei 2024, dan kasus ini juga tengah ditangani Propam Polda Aceh.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mengecam tindakan kekerasan yang diduga menyeret anggota kepolisian ini. Ada beberapa hal yang sangat mendesak perlu ditindaklanjuti.
Pertama, pihak terkait harus segera mengambil sikap serius dengan melakukan penyelidikan, termasuk di antaranya mengamankan terduga anggota polisi yang terlibat dengan kasus ini. Selain itu, penting adanya jaminan keamanan terhadap pihak keluarga yang mengetahui kronologi kejadian ini. Mereka yang menyaksikan langsung kondisi korban sebelum meninggal, dan mereka juga yang mendengar langsung pengakuan korban atas kekerasan yang dialaminya.
“Selama proses penyelidikan ini berlangsung—yang juga akan melibatkan pihak keluarga korban sebagai saksi– harus ada jaminan keamanan keluarga korban dan menjauhkan keluarga korban dari segala potensi intimidasi dan atau intervensi dengan tekanan dari semua pihak yang berkepentingan. Keamanan keluarga korban harus jadi konsentrasi penuh pihak kepolisian,” ujar Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna.
KontraS Aceh juga menyesalkan banyaknya praktik kekerasan terhadap terduga pelaku tindak pidana oleh pihak kepolisian. Dalam proses penangkapan, padahal anggota Polri wajib mengedepankan prinsip Subsidiaritas yang berarti pendekatan yang paling tidak membahayakan hak terduga pelaku pidana tersebut. Namun, tindakan represif yang kerap terjadi telah menerabas prinsip dasar dalam penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum.
Dalam kasus ini, perlu dipastikan apakah telah terjadi tindakan extra judicial killing (pembunuhan diluar hukum) atau tidak. World Organisation Against Torture menyatakan kematian akibat penyiksaan atau perlakuan sewenang-wenang lainnya dalam penahanan juga dapat termasuk dalam kategori ini. “Polisi seharusnya lebih dulu mengutamakan metode non-kekerasan kepada warga sipil,” tambah Husna.
Terlebih, untuk menanggulangi tindak pidana di internal Polri telah berlaku Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
“Namun dari banyak kasus yang terjadi, kewajiban dalam mematuhi standar hak asasi manusia ini tampaknya diabaikan. Masyarakat sipil mempertanyakan apakah ada mekanisme internal terkait pemantauan berkala atas kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri ini, demi mencegah impunitas,” tegas Husna.
Terakhir, KontraS Aceh mendesak penyelidikan yang transparan. Jangan sampai kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian tergerus akibat dugaan kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggotanya tidak kunjung diproses secara tuntas.
“Jangan sampai kembali terjadi preseden buruk dalam penanganan kasus yang melibatkan sesama ‘anggota’ sebagai pelaku,” pungkasnya.[]