Peristiwa penangkapan terduga pelaku pencurian, perempuan asal Sumatera Utara berinisial YL, Rabu lalu (17/6/2020) di Pasar Ule Gle – Pidie Jaya – Aceh menjadi perhatian serius dari KontraS Aceh. YL yang ditangkap oleh warga di Pasar Ulee Glee, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya, dipertontonkan menggunakan video dalam keadaan nyaris diamuk massa setempat.
Dalam cuplikan video yang kini tersebar luas di media sosial itu, tampak YL dalam kondisi tak berdaya usai dikepung massa yang didominasi laki-laki. Jilbabnya lalu ditarik paksa oleh seorang warga, lalu beramai-ramai orang menjambak rambutnya sambil berteriak memaksa rambutnya dipotong saja. Tak lama, massa menghakimi YL dengan cara memotong rambutnya menggunakan pisau, hal ini jelas menunjukan bahwa masyarakat tersebut melakukan persekusi YL.
Link Terkait:
Peristiwa ini lantas menyisakan kontroversi, benarkah demikian cara menindak pelaku pencurian? sebagian pihak memaklumi reaksi masyarakat yang marah, dengan dalih bahwa perempuan itu memang kepergok sedang mencuri. Namun, tak sedikit yang menyayangkan perilaku sejumlah warga dalam video itu yang terlihat semena-mena terhadap YL. Mereka menyesalkan, Aceh yang notabenenya daerah Syariat Islam, tapi malah merespon sebuah tindakan dengan cara-cara yang tidak islami.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menilai, peristiwa ini menunjukkan lemahnya proses penegakan hukum oleh aparat negara terhadap kejahatan yang dilakukan secara massal selama ini. Maka, untuk kasus ini pihak kepolisian harus segera bertindak, untuk membuktikan bahwa setiap kejahatan walaupun dilakukan secara massal tetap akan berhadapan dengan proses hukum.
Link Terkait:
“Selain lemahnya proses penegakan hukum terhadap kejahatan yang dilakukan massa, apa yang terjadi di Pasar Ulee Gle itu juga menunjukan betapa lemahnya sensitifitas sebagian kita terhadap kemanusiaan, sehingga perilaku demikian dianggap lumrah,†ujar Ketua Divisi Kampanye dan Advokasi KontraS Aceh, Azharul Husna dalam keterangan resminya, Kamis (18/6/2020).
Semestinya, bagi masyarakat yang sadar hukum, ketika mendapati seorang yang melakukan kejahatan maka wajib diserahkan kepada aparat hukum. Namun yang terjadi, pelaku malah diperlakukan tidak manusiawi. Ini menunjukkan betapa rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai hukum itu sendiri.
Link Terkait:
Menurut KontraS Aceh, alih-alih membawa pelaku ke kantor polisi terdekat, masyarakat malah main hakim sendiri. “Tidak ada yang menyangkal bahwa mencuri adalah perilaku kriminal. Tetapi membuka jilbab dengan paksa, menjambak lalu memotong rambut perempuan tersebut di tengah pasar merupakan salah satu tindakan penyiksaan yang kejam dan tidak manusiawi serta merendahkan martabat manusia,” kata Husna.
Di sisi lain, masyarakat kita, sambungnya, patut berkaca dari peristiwa penganiayaan yang pernah menimpa seorang warga Aceh, di Tangerang, Banten.
“Jika kita hendak mundur ke belakang, ingatkah kita penganiayaan dan pembakaran yang menimpa warga Aceh di Tangerang terkait tuduhan pencurian? bukankah ramai-ramai kita mengecamnya?” tegas Husna.
Kala itu, masyarakat mendesak agar baiknya ada pembuktian terlebih dahulu. Namun ini paradoks dengan yang terjadi saat ini di Aceh. Ia mempertanyakan, mengapa saat kejadian yang hampir serupa terjadi, sebagian dari masyarakat menjadi lupa? malah mengaggapnya sebagai sebuah kepantasan.
KontraS Aceh menekankan kembali agar semua pihak tidak terjebak pada perilaku main hakim sendiri. Jika ada dugaan tindak pidana, laporkan ke pihak yang berwajib. Jika proses pembuktian selesai, biarkan aparat hukum bekerja sesuai tugasnya.
Link Terkait:
Kepada pihak kepolisian, KontraS Aceh mendesak agar para pelaku persekusi di Pasar Ulee Glee, Pidie Jaya itu agar segera diproses secara hukum.
“Ini penting diusut, agar kejadian serupa (main hakim sendiri) tidak terulang lagi di masa depan,” pungkasnya.[]