Rapat Dengar Kesaksian Tahun 2019

“Mengungkap Masa Lalu, Menata Masa Depan”

Tanggal 16-17 Utara sedang berlangsung Rapat Dengar Kesaksian. Dari 16 belas pemberi pernyataan. Kegiatan dimulai pukul 09.22 WIB. Dalam sambutan wakil ketua LPSK; Edwin Partogi Pasaribu, S.H mengatakan “Saya yakin, pernyataan mereka tidak akan mengganggu perdamaian yang sudah dirintis. Karena mengingat untuk memperbaharui ingatan bukan mengulang masa lalu”

Lalu dilanjutkan oleh Bpk. Soleman B. Ponto (salah seorang perunding RI saat MoU Helsinki) sebagai Keynote Speaker. Dalam pemaparannya dihadapan lebih kurang 200 hadirin. Beliau menyampaikan bahwa kegiatan pengungkapan kebenaran seperti ini mustinya sudah sejak lama dilaksanakan. Begitu pula poin dalam MoU Helsinki yang belum terealisasi seperti pengadilan HAM yang harusnya sudah ada sejak lama.

Kegiatan dibuka oleh Bapak Dayan Albar yang merupakan Asisten I Setdakab Aceh Utara yang dalam penyampaian sambutan tertulis Bupati Aceh Utara yang menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Aceh Utara mendukung sepenuhnya pengungkapan kebenaran yang dilakukan oleh KKR Aceh dan Pemkab berkomitmen untuk membantu reparasi tersebut.

Rapat Dengar Kesaksian dipimpin oleh Komisioner KKR Aceh yakni:
1. Afridal Darmi
2. Evi Narti Zain
3. Masthur Yahya
4. Ainal Mardhiah
5. Daud Beureueh
6. Fuadi

Menurut Afridal Darmi kegiatan ini akan menjadi sarana pendidikan publik yang mana hasilnya akan menjadi rekomendasi reparasi mendesak dan komprehensif. “Saat ini sudah ada 77 korban yang sudah kita berikan rekomendasi ke BRA” sambung Afridal.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Hendra Saputra menyampaikan bahwa KontraS Aceh sangat mengapresiasi kegiatan Rapat Dengar kesaksian tersebut sebagai salah satu upaya pemulihan dan memberikan ruang bagi korban untuk mengungkapkan fakta terhadap peristiwa yang dialami. Apresiasi juga diberikan kepada Pemerintah Kabupaten Aceh Utara atas dukungan dan komitmennya dalam pelaksanaan Rapat Dengar kesaksian. KontraS Aceh juga mendesak Pemerintah Aceh untuk mendukung proses yang sedang dikerjakan oleh KKR ini. Selain reparasi termasuk upaya rekonsiliasi dan reformasi institusi.

Namun Hendra menyayangkan ketidakhadiran pemerintah Aceh untuk mendengarkan cerita korban. “Hal ini semakin menunjukkan bahwa Pemerintahan Aceh saat ini tidak peduli dengan upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. KKR Aceh sebagai lembaga resmi yang dibentuk oleh Pemerintah justru dibiarkan bekerja sendiri tanpa dukungan penuh dari Pemerintah Aceh” tutupnya.

[ngg src=”galleries” ids=”16″ display=”basic_slideshow”]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *