Sabtuan – Mengupas Jerat Pasal Panas UU ITE

Rutinitas saban akhir pekan di pekarangan kantor KontraS Aceh, kembali berlanjut. Pada Sabtu petang (8/2/2020), diskusi mengambil tema hukum, yakni pemberlakuan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kegiatan ini menghadirkan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, SH.,M.H. Ia menjelaskan bagaimana penerapan UU ITE selama ini serta pengalamannya mengadvokasi korban dari undang-undang tersebut.

Mengutip penjelasan Staf Ahli Menteri Kominfo RI, Prof. Henri Subiakto, UU ITE dirumuskan dan ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR sebagai hasil dari praktik demokrasi di Indonesia. Kala itu, aturan ini lahir pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

UU ITE (UU No. 11/2008) muncul nyaris berbarengan dengan dirumuskannya UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14/2008). UU KIP sendiri berisi jaminan bagi publik untuk mendapatkan informasi, penegakan sistem transparansi, dan ikut berpartisipasi dalam upaya memperkuat demokrasi.

Kedua UU ini berisi tentang informasi, dan sama-sama mendukung sistem masyarakat modern yang demokratis. Menurut Henri, tidak mungkin UU yang lahir berbarengan dan dari lembaga yang sama namun ketentuannya saling bertolak belakang.

“Yang satu mendukung demokrasi, satu lagi menghambat, tidak mungkin seperti itu,” tulis Henri.

Diskusi Sabtuan, 8 Februari 2020, mengulas “Jerat Pasal Karet UU ITE”, di pekarangan KontraS Aceh.

Paradoks itu muncul saat ia melihat penerapan UU ITE dalam beberapa tahun terakhir ini, yang nyaris sering disalahgunakan untuk menjerat pendapat atau pun kritik oleh seseorang. Dari sini pula Syahrul menduga, UU ITE mulai menjadi alat bagi sekelompok untuk membungkam masyarakat, utamanya melalui Pasal 27 ayat (3) terkait pencemaran nama baik.

“Sehingga disebut pasal karet, karena tak punya batasan,” kata Syahrul mengawali diskusi.

Padahal, lanjut Syahrul, untuk memahami pasal ini tidak cukup hanya membaca apa yang tertuang di UU ITE semata, namun juga harus memahami konteks dan norma asli yang terkait. Pada pasal 27 itu, kalimat ‘memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik’ harus mengacu pada ketentuan di KUHP, yakni delik pencemaran nama baik (Pasal 310) dan delik fitnah (Pasal 311).

“Ini keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 silam,” kata dia.

Jika acuan ini tak diikuti, maka Syahrul khawatir setiap orang punya standarnya sendiri untuk mendefinisikan pencemaran nama baik. “Dikritik, terus tersinggung, langsung lapor polisi lantran merasa nama baiknya dicemarkan, ini konyol, padahal tidak semudah itu, Pasal 27 ini tak bisa berdiri sendiri, ia harus melekat pada KUHP Pasal 310 dan 311,” timpal Syahrul.

Pegiat sipil, Taufik Riswan saat menyampaikan pandangannya mengenai pemberlakuan UU ITE, dalam Diskusi Sabtuan.

Jangan Sampai Jadi ‘Normal yang Baru’

Rentannya pendapat dikriminalkan dengan UU ITE, perlu direspon oleh semua kalangan. Syahrul menyebut istilah ‘normal yang baru’, jika tafsir miring soal pencemaran nama baik ini dibiarkan begitu saja di tengah praktik kehidupan bermasyarakat.

“Orang-orang yang punya power akan dengan mudah mengkriminalkan pendapat atau kritik yang ditujukan pada mereka,” ujar Syahrul.

“Nanti jika dipenjara gara-gara mengkritik, lalu masyarakat mulai berkilah, oh itu sudah biasa..wajar karena sudah banyak yang begitu, ini berbahaya untuk iklim demokrasi, menganggap kriminalisasi pendapat sebagai hal yang lumrah. Maka kita harus melawannya,” tandas Syahrul.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *