Catatan Akhir Tahun 2022 KontraS Aceh

Sepanjang tahun 2022, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menyoroti sejumlah persoalan berkaitan dengan penerapan Hak Asasi Manusia di Aceh. Beberapa isu telah menjadi concern, di antaranya upaya mendorong penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, reformasi sektor keamanan, penanganan pengungsi luar negeri, praktik keberagaman di Aceh serta advokasi Qanun Jinayat.

Adapun catatan KontraS Aceh di akhir tahun 2022 dirangkum sebagai berikut:

  1. Reformasi Sektor Keamanan

Penunjukan Mayjen (Purn) Achmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh telah menguak satu persoalan terkait pengangkatan kepala daerah beberapa waktu lalu. KontraS Aceh menilai pengangkatan Marzuki telah memicu kontroversi. Selain berlatar belakang militer, penunjukan Marzuki sebelumnya sebagai Staf Ahli Menteri Dalam Negeri juga diduga cacat hukum. Seperti diketahui, koalisi masyarakat sipil di tingkat nasional juga menggugat Mendagri ke Ombudsman RI atas polemik pengangkatan sejumlah kepala daerah, termasuk di Aceh. Ombudsman pun menyebutkan telah terjadi sedikitnya tiga bentuk maladministrasi dalam proses pengangkatan Pj Kepala Daerah tersebut. KontraS Aceh memandang keterlibatan militer dalam institusi sipil telah mengangkangi sejumlah regulasi, sekaligus bertentangan dengan agenda reformasi sektor keamanan di Indonesia.

  1. Penanganan Pengungsi Rohingya

Dalam catatan KontraS Aceh, sudah 25 kali pengungsi etnis Rohingya tiba di Aceh, setelah pertama kali mendarat pada 7 Januari 2009 (saat itu dikenali sebagai manusia perahu). Meski terhitung sudah menerima kedatangan 3.955 jiwa pengungsi, namun Aceh belum juga memiliki aturan yang komprehensif terkait penanganan pengungsi sebagai turunan dari Perpres 125/2016. KontraS juga menekankan pentingnya dibentuk Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (PPLN), agar penanganan pengungsi di Aceh bisa terkoordinasi dengan baik.

3. Pelanggaran HAM Masa Lalu

  • Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM)

KontraS Aceh mengkritik pembentukan Tim PPHAM melalui Kepres Nomor 17 Tahun 2022.

(https://kontrasaceh.or.id/kontras-aceh-kritisi-hadirnya-tim-ppham-dengan-penyelesaian-non-yudisial-apakah-hak-korban-akan-terpenuhi/ )

Di Aceh, tim ini bekerja untuk tiga kasus pelanggaran HAM berat, yakni peristiwa Rumoh Geudong di Pidie, tragedi Simpang KKA di Aceh Utara dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan.

Ada beberapa hal yang penting disorot terkait kinerja tim tersebut di Aceh.  Selama proses menuju FGD (diskusi terfokus) antara Tim PPHAM dengan komunitas korban di tiga wilayah tersebut berlangsung, KontraS Aceh mengidentifikasi bahwa tim PPHAM tidak bekerja secara profesional.

Hal ini ditandai dari waktu pertemuan yang berubah-ubah. Hal ini menimbulkan kesulitan terhadap relawan dari komunitas korban di lapangan sebab jarak tempat tinggal korban yang berjauhan, sehingga menyulitkan proses komunikasi. Tim pelaksana PPHAM di lapangan terkesan tidak menempatkan korban dalam situasi yang bermartabat.

Beberapa organisasi masyarakat sipil dalam pertemuan dengan tim pelaksana PPHAM juga mempersoalkan keamanan data, jaminan keselamatan para korban yang diundang ke dalam FGD, hingga pembicaraan antara tim pelaksana PPHAM dan korban dalam pertemuan tersebut tidak memiliki ketegasan jawaban. Diduga kuat, tim ini tidak memiliki pemahaman, fokus, dan keseriusan terhadap kerja-kerja pengungkapan (kebenaran), dan keberpihakan terhadap korban untuk program ini.

  • Reparasi Mendesak bagi Korban Pelanggaran HAM di Aceh

KontraS Aceh mengapresiasi reparasi mendesak yang sudah diberikan kepada 245 korban pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi KKR Aceh. Namun, pemerintah seharusnya juga memiliki peraturan terkait rekomendasi dan pemberian reparasi bagi korban pelanggaran HAM masa lalu. Sehingga tidak menggunakan mekanisme Bansos yang sarat masalah, seperti yang terjadi belakangan ini. Perlu aturan khusus termasuk nomenklatur tersendiri terkait hal itu.

  • Rekonsiliasi

KontraS Aceh pada Maret 2022 lalu telah memfasilitasi terlaksananya rekonsiliasi dalam silaturahmi kebangsaan yang digelar Pemkab Bener Meriah di Kampung Sedie Jadi, Kecamatan Bukit. Momentum penting ini berhasil mempertemukan para pihak yang dulu terlibat konflik pada tahun 2001 silam. Kedua pihak, dalam rekonsilasi tersebut, menjalani rangkaian prosesi pengakuan dan saling memaafkan demi merawat perdamaian dan mencegah perpecahan agar tak lagi berulang di masa depan.

  1. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)

Mengenai situasi KBB di Aceh, KontraS Aceh menyoroti beberapa masalah yang muncul berkaitan dengan praktik toleransi. Di antaranya, kasus pembangunan Mesjid Takwa Muhammadiyah di Sangso, Bireuen yang hingga kini tak kunjung selesai.  Selain itu, KontraS Aceh juga mendorong adanya dialog lintas agama untuk penyelesaian kasus pendirian rumah ibadah di Kabupaten Singkil. Untuk kedua kasus ini, KontraS menilai pemerintah lamban dan diduga telah melakukan pembiaran sehingga masalah ini terus saja berlarut hingga bertahun-tahun.

  1. Advokasi Qanun Jinayat

Bersama lintas organisasi masyarakat sipil di Aceh, KontraS Aceh di tahun 2022 telah mengupayakan kerja-kerja advokasi untuk revisi Qanun Jinayat 6/2014. Dalam hal ini, koalisi sipil mendesak agar Pasal 47 dan Pasal 50 terkait pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak dicabut. Namun yang sangat disayangkan, dalam draft akhir kemarin, pihak DPRA dalam revisi tersebut tidak menghapus dua pasal itu, melainkan hanya menambah jumlah hukuman. Sehingga KontraS Aceh berpendapat revisi ini belum berfokus pada pemulihan korban.

id_IDID