Jaringan masyarakat sipil pemerhati isu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia mengapresiasi penerimaan dan penanganan tahap awal atas kedatangan pengungsi Rohingya di wilayah Aceh.
Senin (26/12), masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie, kembali menerima kedatangan kapal yang membawa pengungsi Rohingya yang telah lama terombang-ambing di laut. Kapal tersebut membawa setidaknya 174 pengungsi Rohingya dengan komposisi kelompok pengungsi dewasa dan anak-anak serta laki-laki dan perempuan. Saat ini pengungsi Rohingya ditempatkan secara sementara di SMP 2 Muara Tiga, Pidie. Secara spesifik, pengungsi Rohingya teridentifikasi terdiri dari 174 pengungsi dewasa, 24 anak-anak dan 4 balita. Kedatangan ini hanya berselang sehari setelah kedatangan 57 pengungsi Rohingya yang mendarat melalui jalur dan pola kedatangan serupa di Aceh Besar. Kedatangan kapal ini merupakan kelompok pengungsi Rohingya yang beberapa waktu lalu terombang-ambing di sekitar Laut Andaman karena kondisi mesin kapal yang mati.
Kedatangan ini menambah jumlah kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh secara keseluruhan pada akhir tahun 2022. Sebelumnya pada 15 dan 16 November, Aceh menerima kedatangan sejumlah 229 pengungsi Rohingya yang datang melalui jalur laut. Pola kedatangan ini semakin menggambarkan tingkat kerentanan yang dialami beserta dengan kebutuhan perlindungan yang memadai atas dasar kemanusiaan dan perlindungan HAM bagi para pengungsi Rohingya. Terlebih, beratnya perjalanan yang harus dilalui melalui jalur laut untuk mencapai Indonesia membuat kondisi pengungsi Rohingya semakin rentan dengan minimnya logistik dan kondisi kebutuhan dasar lainnya yang tidak memadai selama berada di atas kapal.
Serupa dengan kedatangan-kedatangan sebelumnya, para pengungsi Rohingya yang telah mendarat segera diterima dengan baik dan dilakukan penanganan awal secara komprehensif oleh Pemerintah Kabupaten dan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Oleh karenanya, Jaringan Masyarakat Sipil memberikan apresiasi besar kepada pemerintah daerah, masyarakat lokal, organisasi internasional, serta organisasi masyarakat sipil yang telah memberikan penanganan medis, logistik, serta pemenuhan kebutuhan dasar lainnya terhadap para pengungsi Rohingya. Hal ini tentunya dapat meringankan situasi kerentanan yang teridentifikasi.
Namun hal ini perlu diikuti dan ditindaklanjuti dengan bentuk penanganan lanjutan oleh para pihak sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Perpres No. 125 Tahun 2016. Perlu adanya koordinasi lanjutan mengenai penampungan dan penyediaan lokasi tinggal serta akses terhadap kebutuhan dasar secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu terhadap pengalaman-pengalaman penanganan pengungsi yang telah dilakukan sebelumnya oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Perpres 125 tahun 2016 dengan prinsip kolaborasi bersama.
Lebih jauh, atas dasar kondisi-kondisi tersebut, Jaringan Masyarakat Sipil secara spesifik:
- Mendorong adanya statement/kebijakanoleh Pemerintah Pusat mengenai penempatan pengungsi di Aceh, berkoordinasi dan memberikan dukungan bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan penanganan pengungsi, serta melakukan kewajiban-kewajiban hukum berdasarkan Perpres No. 125 Tahun 2016;
- Memberikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah Aceh Besar dalam penanganan tahap awal dan pemberian penempatan sementara di Kantor Dinas Sosial Provinsi Aceh;
- Memberikan apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Pidie atas adanya penanganan cepat dalam memberikan lokasi tinggal sementara di gedung sekolah serta bantuan awal terkait dengan kebutuhan makanan;
- Mendesak pemerintah, baik di tingkat daerah dan nasional, untuk menjamin kebutuhan dasar para pengungsi terpenuhi dan menjamin adanya penanganan berbasis kemanusiaan dan HAM secara berkelanjutan untuk mereka, mengingat kondisi kerentanan kelompok pengungsi yang mendarat dengan komposisi pengungsi yang terdiri dari perempuan dan anak-anak dalam jumlah besar;
- Mendorong Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera melakukan pembentukan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri di wilayah Aceh dengan pelaksanaan tugas berdasarkan SOP yang dirancang dan ditentukan;
- Mendorong adanya pengusutan hukum yang komprehensif dan terstruktur oleh Aparat Penegak Hukum akan adanya potensi Tindak Pidana Perdagangan Orang yang melekat pada situasi kedatangan pengungsi Rohingya dan memberikan sanksi pidana terhadap pelaku;
- Mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan lokasi tinggal dengan kapasitas yang memadai untuk penanganan lanjutan, agar sekolah dapat digunakan untuk kegiatan belajar mengajar;
- Mendorong adanya pendataan yang mempertimbangkan kondisi kerentanan dan perlindungan individu, mengingat cukup banyak pengungsi yang sakit, rentan, dan membutuhkan intervensi medis bersifat khusus;
- Mendorong adanya langkah kolaboratif dalam penanganan pengungsi berkelanjutan melalui peran-peran penting seluruh pihak termasuk organisasi internasional, organisasi masyarakat sipil, masyarakat lokal, serta pemerintah daerah maupun pusat juga sesuai dengan implementasi adat dan hukum Islam yang berlaku;
- Mendorong Pemerintah Indonesia sebagai pemegang keketuaan ASEAN untuk meningkatkan upaya diplomasi sebagai upaya untuk mengakhiri persekusi dan kekerasan terhadap komunitas Rohingya di Myanmar untuk segera mengakhiri kekerasan di Myanmar, dan memastikan tidak ada pemulangan kembali (non-refoulement) terhadap pengungsi atau siapapun yang melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
Narahubung:
Atika Yuanita Paraswaty (SUAKA)
Azharul Husna (KontraS Aceh)
Nasruddin (Yayasan Geutanyoe)
Rama Adi Wibowo (Dompet Dhuafa)
Marguerite Afra (Amnesty International Indonesia)