Catatan Kurator Lorong Ingatan “Khauri Nujoh”

SETIAP INDIVIDU dan juga masyarakat memiliki memori atas apa yang mereka lalui bersama. Hal itu mudah kita temui dalam cerita, obrolan, foto, gambar, atau tempat-tempat tertentu. Hal yang sama berlaku di Aceh. Pasca perjanjian damai 2005, banyak cerita kelam terangkum, baik yang dialami individu maupun secara kolektif.

Memang tidak mudah menghadapi luka lama itu, begitu pula membicarakannya. Beberapa telah berpendapat bahwa ini dapat memicu luka lama dan menganggap ini dapat menganggu perdamaian. Di sisi lain, pikiran ini juga memunculkan konsekuensi baru berupa amnesia kolektif atas apa yang terjadi di masa lalu dan sisa luka yang dialami para penyintas hari ini.

Seorang Dosen “Putra Hiyatullah” menceritakan apa yang terjadi di masa konflik Aceh

Apa yang sering luput dalam pembicaraan tentang masa lalu adalah fakta bahwa ingatan atau memori itu bukan melulu proses yang muncul secara alamiah dalam diri individu. Setiap memori dikonstruksi berdasarkan pertimbangan mengapa yang satu layak diingat dan yang lain harus dilupakan. Ia merupakan ejawantah dari konstruksi sosial atau kekuasaan.

Generasi Muda mencoba mencari tahu apa yang terjadi pada Aceh dimasa lalu

Ada ungkapan yang sekilas terdengar santun dan lazim kita dengar bahwa kita harus melupakan dan memaafkan. Ungkapan itu terkadang juga memunculkan pertanyaan lain, dapatkah seseorang melupakan tanpa disertai penyembuhan terhadap trauma yang ia alami? Suara siapa yang sebenarnya lebih berhak memutuskan untuk melupakan, kita atau korban sendiri?

 

Bertemakan Khanduri Nujoh yang merupakan salah satu adat masyarakat Aceh dalam menghibur orang berduka—lazimnya dengan melayat, acara ini adalah alternatif merawat ingatan sekaligus memaknai kembali perdamaian dengan tanpa mengabaikan apa yang dialami para penyintas di masa lalu dan riwayat mereka di masa sekarang.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *