Mengitari “Lorong Ingatan,” Sekeping Penanda Kekerasan Masa Lalu

“Ini menggambarkan perih, ketakutan dan luka trauma yang muncul setiap kali warga mendengar derap sepatu pasukan militer, masa itu”

—- KontraS Aceh —-

Irama tengah mengalun. Dilatari ritme minor, komposisi bertempo lambat itu tak lain merupakan lantunan shalawat. Nadanya mengiringi derap langkah pengunjung pemeran ‘Lorong Ingatan’, Senin (9/12/2019), di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh.

Ada tiga ruang. Pertama, pengunjung akan memasuki ruang instalasi rangka sepatu lars. Lebar instalasi itu nyaris hanya menyisakan jalan bagi yang ingin lalu lalang di dalamnya. Tepat di telapak sepatu, pecahan kaca bertebaran.

Anggota DPR Aceh Darwati A. Gani yang juga ikut hadir pada peringatan Hari HAM

“Ini menggambarkan perih, ketakutan, dan luka trauma yang muncul setiap kali warga mendengar derap sepatu pasukan militer, masa itu,” ujar Koordinator KontraS, Hendra Saputra.

Melintasinya, pengunjung kemudian masuk ke ruang instalasi kursi listrik dan meja yang memampang peralatan seperti tang, gunting, golok, palu. Kendati demikian, ini sama sekali bukan untuk pekerjaan buruh. Konteks di Lorong Ingatan menunjukkan, alat-alat tersebut dulu pernah dipakai untuk menyiksa para korban.

 

Penyiksaan yang dimaksud terjadi di Rumoh Geudong, riwayat markas tentara yang juga situs kekerasan di Desa Bilie, Glumpang Tiga, Pidie. Di samping alat-alat tadi, terpampang selembar kertas yang mengurai tiap kamar di rumah tradisional itu.

Ardi, salah seorang mahasiswa yang mampir ke acara ini, mengaku bergidik saat memasuki ruang intalasi kursi listrik.

“Walaupun ini simbol, saya rasa kurator mampu menyuguhkan nuansa ngeri dengan sajian instalasi ini. Tapi semua segera menjadi haru ketika irama shalawat menggema ke tiap ruang,” ujar dia.

Setelahnya, ruang terakhir yang akan dilalui pengunjung di lantai dasar ini adalah instalasi peristiwa Arakundo. Di dalamnya bergantung tiga karung goni. Sementara di dinding ruang dilukis jembatan sungai Arakundo.

Karya ini menarik kita kembali pada peristiwa yang juga dikenal dengan Tragedi Idi Cut, Februari 1999 silam. Saat itu, sejumlah warga sipil dibantai. Aparat menyiksa mereka, lalu memasukkan jasad korban ke dalam karung goni dan membuangnya ke sungai Arakundo.

“Saya masih tidak menyangka penyiksaan keji ini pernah ada dalam sejarah kita di Aceh,” sahut Yanti, pelawat lainnya.

Setelah melalui tiga ruang setengah gelap itu, pengunjung akan naik ke lantai dua. Namun, sebelum menapaki tangga, tampak mural wajah dua orang laki-laki di luar ruangan. Mereka adalah Zulfikar dan Mukhlis, relawan KontraS di Bireuen yang hilang diculik, Maret 2003 silam.

Catatan KontraS, kedua aktivis kala itu tengah mendampingi warga kecamatan Juli yang akan mengungsi. Di saat yang sama sedang terjadi demonstrasi besar, massa mengendarai 30 mobil menuju pendopo bupati. Mereka menolak rencana pendirian pos militer di daerahnya.

“Dalam kondisi kalut itu, keduanya diculik,” tulis Badan Pekerja KontraS, Ori Rahman dalam suratnya ke Kepolisian RI, 14 Mei 2003.

Dari mural, pengunjung segera menapaki tangga menuju lantai atas. Di situ, foto para korban konflik dijejerkan di lantai.

Menariknya, foto-foto itu mengapit jalur menuju satu kursi kayu. “Kursi yang melambangkan kekuasaan,” ujar Hendra Saputra.

Instalasi ini menyiratkan pesan bahwa siapapun yang berkuasa, sebut dia, akan selalu dibebankan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.

Memadu Data dan Seni di Momen Khauri Nujoh

Lorong Ingatan terselenggara hasil kerjasama KontraS dan sejumlah lembaga sipil dan komunitas seperti Asia Justice And Right (AJAR), LBH Banda Aceh, komunitas seni Kanot Bu, dan Apotek Wareuna.

Untuk tahun ke-2, kegiatan mengambil tema Khauri Nujoh (menujuh hari), yang dalam tradisi Aceh lazimnya sebagai momen selamatan pada hari ketujuh usai seseorang wafat.

Tak hanya instalasi, Khauri Nujoh juga memamerkan foto, pemutaran film, diskusi, musik, puisi dan hikayat. Salah seorang dari tim kurator, Putra Hidayatullah mengatakan, Lorong Ingatan tahun ini perlu dikemas lebih dekat dengan minat generasi muda.

“Selama ini ada jarak yang lebar antara teknis karya seni dan wacana,” kata Putra.

Tiga hal yang menurutnya perlu dijalin erat, yakni wacana kemanusiaan, gerakan seni, dan data akademis. Maka dia pun mengapresiasi upaya KontraS menggandeng para seniman untuk memperkenalkan sejarah konflik Aceh ke tengah publik.

“Seniman adalah radar masyarakat, saya percaya ungkapan itu,” ucapnya.

Menempuh pengalaman sebagai kurator di Jakarta Biennale tahun 2015 lalu, Putra menyadari satu kendala yang belum tuntas terkait medium transfer sejarah. Menurutnya, sejarah khususnya di Aceh kerap diperkenalkan hanya satu arah.

“Seperti kurikulum di sekolah-sekolah hari ini, padahal kita butuh alternatif dari itu semua,” ungkapnya.

Sementara, celah yang kosong itu segera disiasati pekerja budaya yang jauh dari institusi formal. Merekalah para seniman. Darinya, pendekatan sejarah masa lalu lebih mampu menarik minat generasi muda.

“Gambar (lukisan), karya instalasi, dan semacamnya mampu melampaui kata-kata itu sendiri, ini yang dibutuhkan sebagai medium pengetahuan sejarah masa lalu kita,” tandasnya.

Waspada

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *