Darurat untuk Penanganan Pengungsi Rohingya di Depan Kantor Bupati Aceh Utara (Perpres tak Dihormati, Pengungsi dari Luar Negeri tak Terlindungi)

(Jakarta, 24 November 2022) Jaringan Masyarakat Sipil mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemda Aceh Utara, Pemda Aceh Timur, dan Pemda Lhokseumawe) untuk memprioritaskan penampungan sementara bagi 110 orang Pengungsi Rohingya.

Ratusan pengungsi Rohingya termasuk anak-anak terkatung-katung setelah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah kembali saling lempar tanggung jawab. Masyarakat lokal yang dibiarkan menolong pengungsi dari luar negeri (pengungsi) menyerah setelah keputusan Pemerintah Pusat untuk merelokasi pengungsi Rohingya tak digubris oleh Pemda Aceh Utara, Pemda Lhokseumawe, maupun Pemda Aceh Timur. Masyarakat akhirnya merelokasi pengungsi ke Kantor Bupati Aceh Utara pada sore ini setelah sebelumnya memberi waktu 2 x 24 jam bagi pemerintah untuk mengambil tindakan. Hingga kini, pengungsi masih berada di depan kantor bupati Aceh Utara tanpa atap dan diguyur air hujan.

Seperti diketahui, Aceh Utara baru saja kedatangan pengungsi Rohingya pada tanggal 15 dan 16 November lalu. Kelompok yang datang pada tanggal 15 November, berjumlah 110 orang telah ditempatkan sementara di meunasah setempat. Kemudian, oleh karena adanya desakan dari masyarakat, pengungsi Rohingya kemudian dipindahkan sementara ke Kantor Camat Muara Batu. Kini desakan kembali terjadi melalui Forum Geuchik Muara Batu yang melalui IOM dan UNHCR meminta pengungsi diberikan kejelasan lokasi dalam waktu 2×24 jam. Padahal pada tanggal 16 November 2022, Satgas Nasional Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Satgas PPLN) telah menunjuk Pemda Lhokseumawe dan Pemda Aceh Timur untuk menentukan lokasi penampungan dan segera memindahkan pengungsi tersebut. Penolakan secara resmi bahkan muncul dari Forum Keuchik Kecamatan Blang Mangat, ketika Gedung Imigrasi Lhokseumawe sempat dijadikan salah satu opsi.

Tak kunjung mendapatkan tanggapan dan waktu sudah terlewat, Forum Geuchik Muara Batu pun akhirnya membawa pengungsi ke depan kantor Bupati Aceh Utara. Sementara, kelompok kedua yang datang pada tanggal 16 November masih berada di aula masyarakat yang dikelola oleh Panglima Laot setempat.

Kondisi ini sudah terjadi berulang kali. Pemerintah Pusat tak memberikan aturan operasional dan koordinasi pendanaan yang pasti bagi pemerintah daerah. Lebih lanjut pemerintah pusat mengandalkan pada organisasi internasional seperti UNHCR dan IOM dalam penanganan pengungsi. Sementara, Pemerintah Daerah yang menangkap ketidakjelasan ini, justru memanfaatkannya untuk saling lempar tanggung jawab, tidak mengindahkan Peraturan Presiden yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tempat penampungan pengungsi dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dengan membuat pengungsi terkatung-katung. Pemerintah Provinsi yang seharusnya dapat turut serta membantu lalu lintas koordinasi antara kota dan kabupaten pun juga tidak tampak merespon. Hal ini tidak sejalan dengan nilai-nilai warganya selama ini yang selalu menerima pengungsi dalam kondisi kesulitan.

Peran utama dalam Perpres adalah koordinasi penanganan pengungsi. Dalam berbagai forum internasional, Indonesia menyebutkan mengenai responsibility sharing atau berbagi tanggung jawab. Praktek di lapangan selama ini menunjukan justru organisasi internasional dan lembaga kemanusiaan yang terlibat. Walau demikian kelompok-kelompok ini memiliki keterbatasan dan membutuhkan koordinasi.

Peran yang seharusnya saling bisa mengisi justru disalahgunakan untuk saling lempar tanggung jawab. Sementara, tiga orang balita dalam kelompok pengungsi yang berada di depan Kantor Bupati Aceh Utara, harus turut menanggung akibatnya bersama dengan pengungsi lain yang kehujanan.

Meski tak meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967, Indonesia telah meratifikasi beragam konvensi HAM. Di antaranya terdapat Konvensi mengenai Hak Anak. Di dalam kelompok pengungsi yang terkatung-katung di depan kantor Bupati tersebut terdapat 33 anak-anak dan 19 perempuan dewasa. Dalam review Universal Periodic Review di PBB awal November lalu, tak sedikit negara-negara yang mengingatkan Indonesia terkait hal ini. Hal ini cukup miris mengingat nilai-nilai warga belum dicerminkan oleh tindakan pemerintah.

Indonesia yang menjadi tuan rumah G-20 di Bali 15-16 November lalu, bahkan turut serta menyampaikan Deklarasi Pimpinan G-20, dimana pada poin nomor 40 disebutkan bahwa Indonesia turut berkomitmen dalam mendukung inklusi pengungsi, termasuk dalam upaya pemulihan dan memastikan hak asasi manusia pengungsi apapun kondisi keimigrasiannya.

Dukungan ini juga termasuk dalam upaya merespon kebutuhan kemanusiaan dan akar masalah kepengungsian. Setelah ini, Indonesia bahkan akan menjadi Ketua ASEAN. Pengungsi Rohingya tak akan meninggalkan Myanmar, jika kondisi di sana memberikan mereka martabat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kepengungsian di Bangladesh pun juga semakin memprihatinkan, yang akhirnya membuat pengungsi Rohingya terpaksa mengambil jalan melalui penyelundup manusia yang semakin membuat mereka rentan.

Kesadaran yang sangat terbatas mengenai hal ini, tak kunjung disadari, dan semakin membuat pengungsi terombang-ambing. Permasalahan mendasar terkait pengungsi dan diplomasi Indonesia semakin dikerdilkan dengan rasa buruk sangka, narasi lempar melempar tanggung jawab dan hitung-hitungan keuntungan yang didapat dalam menangani pengungsi.

Menanggapi situasi yang sangat memprihatinkan dan darurat, maka kami Jaringan Masyarakat Sipil menyatakan:

  1. Mendesak tanggung jawab Pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan dan menghormati Perpres 125 tahun 2016 dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, khususnya Pemda Aceh Utara, Pemda Aceh Timur, dan Pemda Lhokseumawe, Pemda Langsa serta berbagai pihak untuk segera mengambil keputusan terkait penyediaan tempat yang layak bagi pengungsi di depan kantor Bupati Aceh Utara termasuk mekanisme pendanaannya;
  2. Mendesak Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meminta Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri segera mengambil tindakan ketika koordinasitidak berjalan maksimal. Hal ini utamanya dengan Pemerintah Daerah dan lembaga lainnya dalam memberikan keputusan mengenai lokasi tempat penampungan bagi pengungsi di kota-kabupaten di Aceh. Tempat Penampungan ini dapat diselenggarakan di kota kabupaten terdekat yang dipersiapkan untuk menangani pengungsi dari luar negeri termasuk Aceh Utara, Lhokseumawe, Langsa, Aceh Timur, dsb;
  3. Mendesak Pemerintah Provinsi Aceh untuk turut menangani dan memfasilitasi penentuan lokasi penampungan pengungsi dari luar negeri di wilayahnya;
  4. Mendesak Pemerintah Kota/Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dsb untuk turut merespon dan menyatakan kesiapannya dalam penerimaan pengungsi dari luar negeri melalui pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri Daerah, serta menyelenggarakan koordinasi dengan satuan tugas serta lembaga kemanusiaan untuk bersama-sama menangani pengungsi dari luar negeri;
  5. Mendorong inisiatif dan koordinasi bersama terkait pelayanan kesehatan, logistik, makanan, dsb sesuai dengan hak asasi manusia dan semangat kemanusiaan melalui koordinasi pemerintah. Hal ini termasuk secara transparan menyampaikan peran dan keterbatasan dari setiap lembaga kemanusiaan yang menangani pengungsi;
  6. Mengapresiasi peran serta warga masyarakat dan lembaga kemanusiaan yang turut terlibat dalam penanganan pengungsi di wilayah Aceh, di tengah absennya langkah kongkrit dari pemerintah.

Narahubung:

  1. Syahrul, LBH Banda Aceh
  2. Azharul Husna, Kontras Aceh
  3. Atika Yuanita Paraswaty, Suaka
  4. Angga Reynady, Suaka

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *