Hadirnya atau pembentukan tim Penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM (PPHAM) berat di masa lalu mendapat kritisi dari banyak pihak. Keppres nomor 17 Tahun 2022 ini hanya melakukan penyelesaian non-yudisial secara tidak langsung penyelesaian tanpa mekanisme hukum.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna mengatakan, penyelesaian non-yudisial berarti penyelesaian tanpa mekanisme hukum.
Menurutnya, sebenarnya jika berbicara hak atas korban, maka ada beberapa hak yaitu, hak atas kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan masih banyak hak agar hal tersebut tak terulang kembali.
“Yang jadi pertanyaan disini, dengan penyelesaian non-yudisial, apakah hak-hak korban kan terpenuhi?,†ucapnya kepada Dialeksis.com, Jumat (23/9/2022).
“karena didalam Keppres nomor 17 tahun 2022 tidak menyebutkan siapa pelaku, jadi hanya berorientasi pada peristiwa,â€tambahnya.
Dia mengilustrasikan, ‘Saya memukul Anda, saya mau ganti rugi, namun saya tak mau disebut sebagai pelaku dan tidak mau disalahkan’
“Uang ganti rugi itu ada, namun itu bukan uang saya, namun uang negara (Uang Reparasi),†sebutnya.
Dia menjelaskan, di pasal 3 pada huruf (a) melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sampai dengan tahun 2020.
“Artinya, hanya data yang direkomendasikan oleh Komnas HAM. Sementara, dari banyak kasus pelanggaran HAM, katakanlah di Aceh baru ada 5 yang baru dilakukan penyelidikan, dan baru 3 yang sudah penyelidikan dan diserahkan ke Kejaksaan Agung, namun sampai sekarang belum ada kejelasan sama sekali,†jelasnya.
Dirinya mengatakan, di dalam Keppres ini hanya ada 12 pelanggaran HAM yang masuk dan untuk Aceh hanya 3, yakni; Kasus Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Keupok di Aceh Selatan.
“Dan Keppres ini hanya punya waktu kerja sampai Desember, dalam hal ini bagaimana kita juga memastikan keberlangsungan juga,†sebutnya.
Lanjutnya, Dirinya juga mengatakan, terhadap pemberian reparasi nantinya ini terhadap pelanggaran HAM akan mencegah ataupun tidak terulang lagi di masa yang akan datang?
“Contoh kebutuhan yang diberikan yang dianggap itu bisa reparasi, yaitu; Bantuan pelatihan dan peralatan bonggol jagung, bantuan modal usaha, pengadaan alat perontok pengadaan rumah layak huni, pembangunan sarana air bersih. Apakah dengan memberikan hal tersebut hak-hak korban yang diberikan akan selesai, ini menjadi pertanyaan juga,†sebutnya.
Menurutnya, dengan adanya Keppers ini bentuk angin segar, namun orang yang berada didalamnya juga patut diperhitungkan.
“Susunan anggota yang ada didalamnya juga patut diperhitungkan, semoga tidak mandek,†tukasnya.
Dia mengatakan, tugas-tugas PPHAM ini sebenarnya sudah ada di laporan Komnas HAM. “Dalam hal ini tidak membicarakan soal tolak-menolak terhadap Keppres ini, adanya Keppres ini bagus karena memberikan Reparasi, namun lebih kepada mengkritisi,†ujarnya.
“Reparasi itu membawa korban agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi, namun di awal ada yang namanya non-yudisial,†tambahnya.
Dalam hal ini, Nana (Sapaan akrabnya) mengkhawatirkan terhadap Keppres ini, karena berbicara soal pelanggaran HAM tidak bisa berbicara parsial-parsial saja. “Namun harus dibahas dengan komprehensif,†sebutnya.
Dirinya menyebutkan, di dalam susunan tim terdapat seorang mantan Wakil Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kiki Syahnakri.
Nana mengatakan, Syahnakri pernah menyebutkan bahwa Syahnakri pernah berpendapat bahwa rekonsiliasi korban kekerasan masa lalu sudah berjalan alamiah. Untuk itu, pemerintah tidak perlu lagi mencari model rekonsiliasi atas peristiwa tragedi 1965. (Dikutip dari Tempo.co)
“Di Dalam Keppres hanya menyebutkan hanya memberikan reparasi, tapi tidak mengungkapkan kebenaran. Secara tidak langsung negara tidak mengakui bahwa adanya pelaku disitu (Didalam susunan Keppres),†jelasnya.
Sementara itu, lanjutnya, KSP pernah menyampaikan alasan tim ini ada untuk menekan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban dan jaminan ketidak berulangan.
“Padahal di dalam Keppres tersebut tidak ada upaya pengungkapan kebenaran, jadi hanya langsung pada reparasi saja,†sebutnya.
Nana dalam hal ini bahwa mengapresiasi upaya negara terhadap Reparasi korban, namun pihaknya mengkritisi perihal non-yudisial, tidak pengungkapan kebenaran, dan soal waktu yang terbatas, dan bagaimana keberlanjutannya?. [ftr]
Sumber : DIALEKSIS :: Dialetika dan Analisis