Soal Revisi Qanun Jinayat, KontraS Aceh: DPRA Tak Cukup Hanya Memperberat Hukuman Terhadap Pelaku

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) lebih tegas dan mengedepankan perspektif korban dalam upaya revisi Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Hal ini 

menanggapi pernyataan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRA, Bardan Sahidi, bahwa pihaknya berencana memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh.

Bagi KontraS Aceh, persoalan kasus-kasus kekerasan seksual bukan semata-mata perihal hukuman berat atau ringan terhadap para pelakunya. Adanya beberapa opsi dalam hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual –cambuk, penjara dan denda— itu saja sudah jelas merupakan keringanan. Justru yang sangat disayangkan, hukuman tersebut tak cukup menimbulkan efek jera.

“Membayangkan pelaku kekerasan seksual dihukum cambuk, lalu setelah itu pelaku kembali ke kampung dan bertemu korban lagi. Ini tentu sangat memprihatinkan, bisa menyebabkan trauma berkepanjangan bagi korban, dalam hal ini anak,” ujar Ketua Divisi Advokasi dan Kampanye KontraS Aceh, Azharul Husna.

KontraS juga meyakini, memperberat hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, tak serta merta menurunkan angka kasus tersebut. Dalam banyak kasus, misalnya, diketahui pelakunya merupakan residivis kasus serupa sebelumnya. Karena itu DPRA diminta untuk mencabut dua pasal yang selama ini dianggap problematik dalam qanun itu, yakni Pasal 47 terkait hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak, serta Pasal 50 mengenai hukuman terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak.

“DPRA jangan malu-malu, mereka harusnya tegas, bahwa dalam urusan kekerasan seksual terhadap anak jawabannya bukan revisi dengan menambah hukuman, tetapi mencabut dua pasal itu,” tegasnya.

Dengan mencabut pasal tersebut, KontraS Aceh meminta penanganan perkara kekerasan seksual terhadap anak dikembalikan pada UU Nomor 35 Tahun 2014, yang dinilai lebih holistik dalam pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban.

“Tidak ada poin pemulihan yang meliputi reparasi dan rehabilitasi dalam Qanun Jinayat, padahal baik korban, keluarga korban bahkan boleh jadi pelaku (dalam beberapa kasus) juga butuh pemulihan. Seharusnya ini jadi perhatian para pembahas qanun, jika memang mereka peduli pada nasib anak-anak Aceh,” ujar Husna lagi.

Dengan menunjukkan keberpihakan terhadap upaya pemulihan korban, maka penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak juga mengarah pada peningkatan sarana dan prasarana pendukung UPT Perlindungan Perempuan dan Anak. Selama ini perlu disadari banyaknya kendala, seperti tenaga pendamping yang terbatas, kurangnya tenaga ahli psikolog, serta kurangnya dukungan terhadap pendirian rumah aman bagi korban.

“Jadi dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak ini, poin pentingnya bukan hanya pada perberat hukuman semata. Itu tidak akan menyelesaikan masalah yang saat ini kian menggunung. Terlebih lagi, seharusnya hukumannya tidak pakai opsi, tapi harus pasti, dengan menjamin rasa keadilan, keamanan, dan hak-hak korban,” pungkasnya. []

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_IDID