Terhitung mulai Selasa, 5 Juli 2022, Kementerian Dalam Negeri RI telah menunjuk Mayjen TNI Ahmad Marzuki sebagai penjabat (Pj) Gubernur Aceh menggantikan Nova Iriansyah yang telah habis masa jabatannya. Ahmad Marzuki sendiri kabarnya bakal dilantik Rabu besok, 6 Juli 2022 di hadapan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam sidang paripurna DPRA.
Penetapan Ahmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh sontak menuai protes keras dari sejumlah kalangan masyarakat sipil. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menilai penunjukan itu sangat kontradiktif dengan rekam jejak sejarah Aceh sebagai wilayah yang pernah mengalami konflik bersenjata pada dua dasawarsa silam.
“Ini sangat melukai hati rakyat Aceh, mengingat sejarah panjang konflik dan pelanggaran HAM di Aceh serta sejumlah korban yang belum terpenuhi haknya hingga saat ini,†ujar Ketua Divisi Advokasi dan Kampanye KontraS Aceh, Azharul Husna.
KontraS juga berpandangan, masyarakat sipil di Aceh sebelumnya sangat berharap adanya peluang menempatkan sosok sipil sebagai Pj Gubernur Aceh. Namun justru sebaliknya, Kemendagri malah menempatkan militer untuk posisi tersebut, sehingga menimbulkan kecaman dari banyak kalangan.
Bahkan yang lebih mengecewakan lagi, ternyata nama Ahmad Marzuki termasuk salah satu dari tiga nama calon Pj Gubernur Aceh yang diusulkan DPR Aceh ke Kemendagri. Ketiga nama itu yakni Direktorat Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kemendagri Safrizal, mantan Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Ahmad Marzuki dan Sekjen DPR RI Indra Iskandar.
“Namun ini jelas-jelas wakil rakyat Aceh seolah lupa sejarah. Dua tahun setengah masa jabatan Pj gubernur itu bukanlah waktu yang singkat, seharusnya DPRA memahami situasi masyarakat Aceh yang masih punya trauma terhadap militer semasa konflik, dengan catatan panjang pelanggaran HAM yang ditimbulkannya,†ucap Husna.
Di tengah-tengah upaya masyarakat sipil mendorong pemenuhan hak korban pelanggaran HAM masa lalu, penunjukan Ahmad Marzuki jadi tantangan yang besar. Terlebih dalam kepemimpinan transisi ini ada sejumlah PR dalam upaya pemenuhan hak korban pelanggaran HAM, termasuk soal pentingnya pendekatan humanis.
Di sisi lain, secara nasional, pengangkatan perwira militer sebagai Pj gubernur ini memunculkan keprihatinan akan ancaman kembalinya Dwifungsi ABRI, di mana TNI/Polri masuk kembali ke ranah sipil. Penunjukan ini juga berlawanan dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian di kantornya bulan lalu.
Saat itu, Tito menegaskan tidak akan mengusulkan TNI-Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah. Terlebih penting lagi, penunjukan langsung penjabat kepala daerah Aceh ini telah melanggar hak asasi manusia karena tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel karena tidak ada forum terbuka yang dapat diakses oleh publik yang berkepentingan khususnya masyarakat Aceh, untuk dapat terlibat dalam prosesnya. Padahal, Hak Atas Partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak konstitusional dalam konstitusi berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara.
“Oleh karena itu, kami menyatakan sikap agar Kemendagri tidak melantik dan/atau mencabut penunjukan penjabat Kepala Daerah Provinsi Aceh (Gubernur Aceh) sebagaimana hal tersebut mencederai semangat reformasi,†pungkasnya.